Oleh : Ibrahim*
Pasca Sarjana (bukan paska) berarti setelah sarjana. Dalam dunia akademik, pasca merujuk pada dua level: S2 (Magister) dan S3 (Doktor). Seperti piramida, kondisi pendidikan kita di negeri ini memang masih menempatkan sarjana di lapis bawah, magister di lapis kedua, dan doktor di lapis yang mengerucut paling atas dengan jumlah yang terbatas.
Namun perlahan-lahan, tampaknya piramida itu akan mulai tidak membentuk siku-siku karena saat ini trend untuk mengambil S2 dan S3 sedang mendera negeri ini. Apalagi Undang-Undang Sisdiknas mengatur bahwa seorang dosen minimal bergelar S2. Ternyata bukan hanya kalangan dosen saja yang mulai mengikuti kecenderungan itu, gelar magister dan doktor nyatanya kini menjadi semacam gengsi, banyak politisi dan pejabat yang sekarang memburunya, walau dengan berbagai rupa cara yang acapkali tak "prosedural".
Jika mengikuti prosedur yang baku, meraih gelar magister dan doktor tentulah tidak mudah. Bukan saja berhadapan dengan substansi keilmuan yang ingin diraih, tetapi juga berkaitan dengan teknis dan pembiayaan yang kadang tidak bisa diajak kompromi. Setiap orang pun punya cerita dan masalah sendiri-sendiri.
Senior saya, Dr. Edy Nurtjahya mengatakan tidak ada masalah ketika mengambil S2 di Inggris karena mendapatkan beasiswa, namun ketika S3 di IPB, ia menemui masalah. Masalahnya adalah beasiswa BPPS hanya tiga tahun, padahal ia belum selesai ketika beasiswa sudah berakhir. Cerita Pak Dedih Sapjah, S.T., M.Sc lain lagi. Selama studi di Belanda ia harus berpisah dengan sang istri dan anak-anaknya. Alhasil, ketika mendapatkan tawaran mengambil S3 di Inggris beberapa waktu lalu, sang istri tak membolehkan lagi.
Rektor saya di UBB punya kisah yang lebih unik. Selama 11 bulan menuntut ilmu di Filipina, ia meninggalkan istri yang sedang merawat anak yang masih kecil. Dalam sebuah kesempatan, istri pak rektor bertutur: "Wah dulu bapak itu waktu studi di Filipina sering sekali berkirim surat. Sebentar-sebentar kirim surat untuk memastikan kondisi anak-anak. Kadang surat satu belum sampai, terus bapak udah ngirim surat lagi. Bapak kan sayang banget sama anak-anaknya".
Kisah Pak Made, Dosen Polman juga unik, ketika studi di Belanda mengambil gelar master, dia meninggalkan juga anak istrinya. Ketika ada teman saya yang iseng bertanya bagaimana dengan urusan biologis, sambil tersenyum kecut Pak Made menjawab: "Yah, bisa-bisa kita mengendalikannya".
Kisah teman saya Zainudin lain lagi. Setelah tertatih-tatih menyelesaikan pendidikan sarjananya di Filsafat UGM, dia bingung harus bagaimana, namun tekadnya untuk melanjutkan ke pendidikan magister sangat menggebu. Setelah lulus, diapun bergegas pulang ke kampung halamannya di Bima. Setengah memaksa ia meminta orangtuanya menjual sebidang tanah yang mereka miliki. Hasilnya ia gunakan untuk mendaftar di S2 Politik UGM, sisanya ia membuka usaha rental komputer. Dari situ ia kemudian membiayai pendidikannya dan juga mampu membiayai kedua adiknya. Setelah lulus magister, ia melamar ke banyak tempat, dan lamarannya nyantol di Depdagri. Kini ia menjadi orang kepercayaan deputi di departemennya. Ini berkat kegigihannya untuk meraih tekad, meski dengan keras dan jalan terjal.
Teman saya, Norman Ary di Bioteknologi UGM kini mandek dalam studinya. Harusnya tahun ini ia sudah bisa merampungkan disertasinya dan akan menjadi lulusan ke-8 jurusan bioteknologi UGM, namun ketiadaan dana untuk membantunya membeli alat ukur eksperimen ikannya senilai 25 juta sebanyak 4 buah menyebabkan ia tak bisa mengalami kemajuan studi. Setiap bertemu saya, dari kejauhan ia sudah memukul keningnya dengan telapak tangan pertanda bahwa ia belum menemukan solusi.
Cerita Pak Tarmizi, guru saya, yang mengambil magister di UNY ketika saya akan menyelesaikan S1 lebih dramatis. Setelah nekat melepaskan jabatannya di sebuah sekolah bergengsi demi studi lanjut, ia masih harus berjuang dengan pembiayaan. Ia tidak mendapatkan sponsor darimanapun, dari institusinya pun tidak. Dengan gajinya yang terbatas, ia harus mampu membagi antara dirinya, anaknya, dan istrinya yang terpaksa ditinggalkan demi studi. Secara rutin kami bertemu, karena kos beliau yang ukuran 2,5 x 3 meter berada tepat di depan kos kami.
Masih tentang guru saya, Pak Paizal, ia mengambil program magister atas sponsor dari LPPM. Ketika ia bermaksud menghadap bupati menjelang penelitian untuk tesisnya, ia berhadapan dengan kalimat yang kurang menyenangkan: "Pada prinsipnya saya akan mengirimkan orang untuk studi berdasarkan kebutuhan, jadi saya tidak bisa bantu banyak". Bukannya berterima kasih karena salah satu stafnya dibantu oleh institusi lain, malah justru sang bupati terkesan kurang simpatik.
Saya sendiri, sejak awal sudah berprinsip bahwa saya tidak akan mungkin mampu mengambil doktor tanpa dukungan dari sponsor. Saya mengirimkan aplikasi beasiswa ke banyak negara tujuan. Respon yang bagus datang dari beberapa negara, seperti Prof. Knut di Norwegia, Prof Hans di Jerman, Profesor John Keane di Inggris, Prof. Gerald di Amerika Serikat, dan beberapa negara lainnya. Sambil itu, saya pun mengikuti seleksi di The Habibie Center yang setiap periode seleksinya memilih 5 orang seluruh Indonesia. Hasilnya, saya dinyatakan diterima di The Habibie Center dan memulai studi pada pertengahan tahun 2009 di UGM. Tentu saya harus cuti dari mengajar dan dikembalikan ke gaji pokok. Dengan mengandalkan tunjangan beasiswa dan gaji pokok, saya harus pintar-pintar memenej alokasi untuk studi, kebutuhan anak istri, dan kebutuhan tak terduga lainnya. Ini adalah konsekuensi dari pilihan yang harus dijalani dengan konsisten.
Kisah-kisah di atas adalah kisah orang-orang yang menghadapi masalah karena pilihan yang diputuskannya sendiri. Selain berhadapan dengan sulitnya mencari pendanaan, meninggalkan anak dan istri, mereka juga umumnya berjibaku dengan mekanisme pendidikan yang full dan tak kenal kompromi. Oleh tempat belajar, mereka ditempa secara maksimal untuk menguasai substansi keilmuan.
Tetapi di balik kisah-kisah itu, ada banyak kisah-kisah orang yang mendapatkan kemudahan ketika studi lanjut. Hanya dengan kuliah di hotel-hotel mewah tanpa meninggalkan jabatan dan anak istri. Atau dengan kuliah hanya akhir pekan saja. Atau kuliah sambil tetap mengajar dan menjabat. Atau dengan beramai-ramai naik pesawat ke kota tertentu untuk pertemuan secara berkala saja. Yah, begitulah dua sisi dunia. Yin dan Yang istilahnya jika dalam filosofi Cina.
Namun perlahan-lahan, tampaknya piramida itu akan mulai tidak membentuk siku-siku karena saat ini trend untuk mengambil S2 dan S3 sedang mendera negeri ini. Apalagi Undang-Undang Sisdiknas mengatur bahwa seorang dosen minimal bergelar S2. Ternyata bukan hanya kalangan dosen saja yang mulai mengikuti kecenderungan itu, gelar magister dan doktor nyatanya kini menjadi semacam gengsi, banyak politisi dan pejabat yang sekarang memburunya, walau dengan berbagai rupa cara yang acapkali tak "prosedural".
Jika mengikuti prosedur yang baku, meraih gelar magister dan doktor tentulah tidak mudah. Bukan saja berhadapan dengan substansi keilmuan yang ingin diraih, tetapi juga berkaitan dengan teknis dan pembiayaan yang kadang tidak bisa diajak kompromi. Setiap orang pun punya cerita dan masalah sendiri-sendiri.
Senior saya, Dr. Edy Nurtjahya mengatakan tidak ada masalah ketika mengambil S2 di Inggris karena mendapatkan beasiswa, namun ketika S3 di IPB, ia menemui masalah. Masalahnya adalah beasiswa BPPS hanya tiga tahun, padahal ia belum selesai ketika beasiswa sudah berakhir. Cerita Pak Dedih Sapjah, S.T., M.Sc lain lagi. Selama studi di Belanda ia harus berpisah dengan sang istri dan anak-anaknya. Alhasil, ketika mendapatkan tawaran mengambil S3 di Inggris beberapa waktu lalu, sang istri tak membolehkan lagi.
Rektor saya di UBB punya kisah yang lebih unik. Selama 11 bulan menuntut ilmu di Filipina, ia meninggalkan istri yang sedang merawat anak yang masih kecil. Dalam sebuah kesempatan, istri pak rektor bertutur: "Wah dulu bapak itu waktu studi di Filipina sering sekali berkirim surat. Sebentar-sebentar kirim surat untuk memastikan kondisi anak-anak. Kadang surat satu belum sampai, terus bapak udah ngirim surat lagi. Bapak kan sayang banget sama anak-anaknya".
Kisah Pak Made, Dosen Polman juga unik, ketika studi di Belanda mengambil gelar master, dia meninggalkan juga anak istrinya. Ketika ada teman saya yang iseng bertanya bagaimana dengan urusan biologis, sambil tersenyum kecut Pak Made menjawab: "Yah, bisa-bisa kita mengendalikannya".
Kisah teman saya Zainudin lain lagi. Setelah tertatih-tatih menyelesaikan pendidikan sarjananya di Filsafat UGM, dia bingung harus bagaimana, namun tekadnya untuk melanjutkan ke pendidikan magister sangat menggebu. Setelah lulus, diapun bergegas pulang ke kampung halamannya di Bima. Setengah memaksa ia meminta orangtuanya menjual sebidang tanah yang mereka miliki. Hasilnya ia gunakan untuk mendaftar di S2 Politik UGM, sisanya ia membuka usaha rental komputer. Dari situ ia kemudian membiayai pendidikannya dan juga mampu membiayai kedua adiknya. Setelah lulus magister, ia melamar ke banyak tempat, dan lamarannya nyantol di Depdagri. Kini ia menjadi orang kepercayaan deputi di departemennya. Ini berkat kegigihannya untuk meraih tekad, meski dengan keras dan jalan terjal.
Teman saya, Norman Ary di Bioteknologi UGM kini mandek dalam studinya. Harusnya tahun ini ia sudah bisa merampungkan disertasinya dan akan menjadi lulusan ke-8 jurusan bioteknologi UGM, namun ketiadaan dana untuk membantunya membeli alat ukur eksperimen ikannya senilai 25 juta sebanyak 4 buah menyebabkan ia tak bisa mengalami kemajuan studi. Setiap bertemu saya, dari kejauhan ia sudah memukul keningnya dengan telapak tangan pertanda bahwa ia belum menemukan solusi.
Cerita Pak Tarmizi, guru saya, yang mengambil magister di UNY ketika saya akan menyelesaikan S1 lebih dramatis. Setelah nekat melepaskan jabatannya di sebuah sekolah bergengsi demi studi lanjut, ia masih harus berjuang dengan pembiayaan. Ia tidak mendapatkan sponsor darimanapun, dari institusinya pun tidak. Dengan gajinya yang terbatas, ia harus mampu membagi antara dirinya, anaknya, dan istrinya yang terpaksa ditinggalkan demi studi. Secara rutin kami bertemu, karena kos beliau yang ukuran 2,5 x 3 meter berada tepat di depan kos kami.
Masih tentang guru saya, Pak Paizal, ia mengambil program magister atas sponsor dari LPPM. Ketika ia bermaksud menghadap bupati menjelang penelitian untuk tesisnya, ia berhadapan dengan kalimat yang kurang menyenangkan: "Pada prinsipnya saya akan mengirimkan orang untuk studi berdasarkan kebutuhan, jadi saya tidak bisa bantu banyak". Bukannya berterima kasih karena salah satu stafnya dibantu oleh institusi lain, malah justru sang bupati terkesan kurang simpatik.
Saya sendiri, sejak awal sudah berprinsip bahwa saya tidak akan mungkin mampu mengambil doktor tanpa dukungan dari sponsor. Saya mengirimkan aplikasi beasiswa ke banyak negara tujuan. Respon yang bagus datang dari beberapa negara, seperti Prof. Knut di Norwegia, Prof Hans di Jerman, Profesor John Keane di Inggris, Prof. Gerald di Amerika Serikat, dan beberapa negara lainnya. Sambil itu, saya pun mengikuti seleksi di The Habibie Center yang setiap periode seleksinya memilih 5 orang seluruh Indonesia. Hasilnya, saya dinyatakan diterima di The Habibie Center dan memulai studi pada pertengahan tahun 2009 di UGM. Tentu saya harus cuti dari mengajar dan dikembalikan ke gaji pokok. Dengan mengandalkan tunjangan beasiswa dan gaji pokok, saya harus pintar-pintar memenej alokasi untuk studi, kebutuhan anak istri, dan kebutuhan tak terduga lainnya. Ini adalah konsekuensi dari pilihan yang harus dijalani dengan konsisten.
Kisah-kisah di atas adalah kisah orang-orang yang menghadapi masalah karena pilihan yang diputuskannya sendiri. Selain berhadapan dengan sulitnya mencari pendanaan, meninggalkan anak dan istri, mereka juga umumnya berjibaku dengan mekanisme pendidikan yang full dan tak kenal kompromi. Oleh tempat belajar, mereka ditempa secara maksimal untuk menguasai substansi keilmuan.
Tetapi di balik kisah-kisah itu, ada banyak kisah-kisah orang yang mendapatkan kemudahan ketika studi lanjut. Hanya dengan kuliah di hotel-hotel mewah tanpa meninggalkan jabatan dan anak istri. Atau dengan kuliah hanya akhir pekan saja. Atau kuliah sambil tetap mengajar dan menjabat. Atau dengan beramai-ramai naik pesawat ke kota tertentu untuk pertemuan secara berkala saja. Yah, begitulah dua sisi dunia. Yin dan Yang istilahnya jika dalam filosofi Cina.
*Dosen FISIP UBB Sedang Studi Doktoral di Ilmu Politik UGM
إرسال تعليق