HOMESCHOOLING SEBAGAI ALTERNATIF MODEL PENDIDIKAN YANG BERFOKUS PADA ANAK

Oleh : Widya Ayu Puspita, SKM.,M.Kes *)

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya dapat berkembang optimal dan merasa enjoy melalui masa pendidikannya. Setiap orang tua mengharapkan anak berkembang secara fisik dan psikologis sesuai dengan tahap perkembangannya sehingga mencapai hasil yang optimal. Dengan demikian, memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak merupakan harapan setiap orang tua.

Selama ini di Indonesia kebanyakan orang tua memasukkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan agar anak mendapatkan stimulasi yang tepat. Sistem pendidikan ini memang sudah dipraktekkan selama bertahun-tahun dan memang memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan. Bagaimanapun juga, sebagai sebuah sistem buatan manusia pastilah tidak ada yang sempurna.

Akan tetapi, di sisi lain, banyak pula masyarakat yang tidak mampu memasukkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan karena keterbatasan ekonomi, sulitnya dijangkau baik dari segi transportasi maupun geografis, atau alasan lainnya. Kondisi seperti ini merupakan tantangan bagi kita semua, terutama karena setiap anak berhak atas pendidikan yang layak guna bekal kehidupannya kelak. Kita harus berusaha mencari alternatif model pendidikan anak yang tepat untuk anak-anak dari kelompok masyarakat ini, sehingga tidak tertinggal.

Hal yang juga menarik adalah bahwa pada saat ini mulai banyak orang tua merasa lembaga pendidikan yang ada tak lagi dapat memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Orang tua merasa bahwa metode pengajaran yang dipilih tidak sesuai lagi dengan tahap-tahap pertumbuhan, perkembangan, minat dan kebutuhan anak, sehingga anak-anak tidak merasa nyaman berada di lembaga pendidikan. Sekolah dan pendidiknya dianggap hanya mengejar target kurikulum, sehingga anak-anak dibebani dengan berbagai materi yang tidak sesuai dengan kemampuan atau kebutuhannya. Anak-anak dididik demi memenuhi kurikulum, bukan kurikulum dirancang untuk anak. Anak-anak direnggut kemerdekaannya untuk berkreasi dan berimajinasi. Bahkan, lebih parah lagi kemandirian dan hati nurani anak pun direnggut kebebasannya. Mengapa demikian? Coba kita cermati betul, banyak pendidik yang memberikan hukuman ketika anak berkata jujur. Apa benar? Pasti ini pertanyaan kita selanjutnya. Coba kita amati, ketika anak-anak tidak mengerjakan PR dan dia berkata jujur alasannya, misalnya PR nya terlalu banyak atau terlalu sulit, pasti hukuman yang didapatnya. Akibatnya anak-anak berbohong untuk mendapatkan alasan yang tepat sehingga tidak dihukum, misalnya sakit. Kemudian, orang tua pun jadi ikut mengerjakan PR anaknya atau bahkan anaknya dibuatkan surat keterangan sakit, sehingga anak tidak mendapatkan hukuman. Kita mungkin tidak menyadari, bahwa kita telah menanamkan kebiasaan yang sangat buruk pada anak-anak, yaitu mengajarkan ketidakjujuran dan membohongi hati nurani. Efeknya bukan sesaat, tetapi berkepanjangan. Kita mencetak generasi yang tidak jujur. Sungguh sebuah kesalahan fatal. Apa sebenarnya yang telah terjadi dalam sistem pendidikan kita?

Gambaran penerapan pendidikan semacam itu menyebabkan munculnya berbagai ide tentang sekolah yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan anak, yang kemudian memunculkan berbagai sekolah alternatif. Sebagai contoh kemudian muncul sekolah alam yang mengajak anak-anaknya belajar lebih banyak di alam, sehingga tidak terlalu banyak belajar di dalam ruangan yang serba kaku dan tertutup. Anak-anak lebih banyak diajak berkreasi dan mengenal alam lebih dekat, sehingga mencoba mengembalikan dunia anak-anak yang dekat dengan alam. Sekolah alam dirancang sedemikian rupa sehingga menyenangkan anak. Kegembiraan dan kebebasan bereksplorasi menjadi alat utama untuk mendidik anak.

Setelah itu, kemudian muncul alternatif lainnya yang membebaskan anak didiknya untuk belajar apa saja sesuai dengan minatnya. Di sekolah ini tidak ada kelas seperti halnya di sekolah formal. Pendidik hanya berfungsi membimbing dan mengarahkan minat anak-anak dalam mata pelajaran yang disukainya. Di samping itu juga masih banyak sekolah alternatif lain yang mempunyai metode pelajaran sendiri. Dari berbagai alternatif sekolah itu kemudian muncullah sekolah rumah atau homeschooling.

Homeschooling memungkinkan anak belajar sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Di samping itu juga memungkinkan anak belajar dengan menyenangkan karena suasana dibuat sedemikian rupa sehingga anak merasa aman dan nyaman. Feeling at home itulah yang dibangun. Lalu, bagaimana dengan legalitasnya? Homeschooling adalah bentuk pendidikan yang legal, karena homeschooling adalah salah satu model belajar bagi anak-anak.

Homeschooling bukan berarti tidak belajar. Sekolah bukan satu-satunya tempat belajar anak dan cara anak untuk mempersiapkan masa depannya. Keberadaan homeschooling memiliki dasar hukum yang jelas di dalam UUD 1945 maupun di dalam Undang-Undang No. 20/2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Sekolah disebut jalur pendidikan formal, homeschooling disebut jalur pendidikan informal. Siswa homeschooling dapat memiliki ijazah sebagaimana siswa sekolah dan dapat melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi manapun jika menghendakinya.

Mengingat bahwa setiap anak dilahirkan dengan bakat dan kemampuan yang istimewa serta kepandaian yang unik, homeschooling dapat menjadi salah satu cara untuk menghormati keistimewaan anak dan potensinya untuk berkembang, karena pada pelaksanaannya, homeschooling dapat disesuaikan dengan gaya belajar, minat, kesiapan dan kecerdasan masing-masing anak.

Bagaimanapun juga, memang tidak ada sistem pendidikan yang sempurna, dan pada kondisi saat ini, homeschooling dapat menjadi alternatif pilihan yang rasional bagi orang tua. Yang paling utama adalah kita dapat memberikan pendidikan yang sesuai dengan dunia, kebutuhan dan minat anak, sehingga seluruh potensi yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal.

*) Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda  (BPPLSP) Regional IV

Post a Comment

أحدث أقدم