Untuk sebagian orang, menjadi gaul bukanlah hal sulit. Karena mungkin ia telah terbiasa melakukannya sedari kecil. Tapi bagi sebagian yang lain (bahkan termasuk saya dulu) sulit melakukannya. Padahal cerdas sosial adalah salah satu modal hidup yang niscaya kita butuhkan, baik di masa kini maupun di masa depan.
Akan tetapi, gaul yang saya maksud di sini bukanlah gaul seperti �generasi ikut-ikutan� di luar sana. Yang banyak berucap dan berbuat hanya karena trend yang sedang �in�. Apalagi trend itu seringkali berlawanan dari nilai luhur bangsa yang menyebabkan masyarakat umum mengecap �generasi ikut-ikutan� ini ngawur.
Itulah mengapa saya menggunakan istilah cerdas sosial. Karena kata �cerdas� melambangkan kita sebagai pelajar harus punya prinsip agar tidak terombang ambing oleh trend zaman. Selain itu, cerdas sosial lebih ke arah saling memahami dan kerja sama dibanding sekedar ikut-ikutan trend belaka.
Gaul atau Cerdas sosial (versi saya) punya beberapa prinsip yang mungkin bisa dipraktekkan oleh teman-teman semuanya. Tapi ingat, prinsip ini tidak mutlak, tergantung dari lingkungan sosial kita masing-masing.
Pertama, Mendengarkan dulu baru didengarkan. Karena manusia fitrahnya memang memiliki ego untuk didengarkan dan diakui. Sehingga justru orang yang mendengarkanlah yang akan mendapat nilai lebih. Karena ia mampu mengalahkan egonya. Selain itu, mendengarkan juga bisa membantu kita lebih memahami kondisi lingkungan sosial kita beserta tabiat dan karakternya.
Kedua, Lebih banyak bekerja sama daripada berkompetesi. Kita harus berpandangan bahwa hidup ini memiliki banyak jenis keberhasilan. Sehingga kita tidak harus mengalahkan orang lain, jika ingin berhasil. Berpikirlah! Kenapa kita tidak berhasil bersama? Bukankah bidang keberhasilan kita pun berbeda?
Ketiga, Menjadi solusi andalan. Salah satu parameter keberhasilan cerdas sosial adalah ketika kita dibutuhkan. Untuk itu, kita harus menjadi solusi dalam pergaulan sosial. Tampilkanlah inti kompetensi kita dengan mempergunakannya untuk menolong, bukan dengan mengucapkannya. Sehingga ketika masalah sejenis kembali terjadi, mereka tahu harus kepada siapa mereka meminta pertolongan.
Keempat, mencari persamaan dalam perbedaan. Salah satu masalah yang sering terjadi dalam pergaulan adalah konlfik atau persilihan. Hal ini biasanya disebabkan oleh perbedaan. Padahal apakah kita 100% beda? Tentu tidak, sama seperti kita juga tidak 100% sama. Nah... Solusinya adalah kita harus selalu mencari persamaan untuk bisa bekerja sama dan memanfaatkan perbedaan untuk saling berspesialisasi. Misal, dalam kerja kelompok, inti kompetensi dari tiap anggota pasti berbeda-beda. Ada yang tulisannya bagus, jago mengkoordinir, punya banyak ide, punya banyak buku referensi. Bukankah tugas menjadi lebih mudah ketika setiap orang mampu berspesialiasasi di inti kompetensi?
Kelima, memahami tidak harus mengikuti. Dalam cerdas sosial, kita memang dituntut untuk mampu memahami lingkungan sosial kita. Tapi ingat! Memahami itu tidak harus mengikuti. Haruskah kita mengikuti jika teman kita malas belajar? Haruskah kita mengikuti jika teman kita suka keluar malam? Haruskah kita mengikuti jika teman kita suka kebut-kebutan di jalan? Tidak.
Keenam, memberi solusi bukan menghakimi. Setelah kita berusaha menjaga diri untuk tidak ikut ke dalam pergaulan negatif, kita juga harus berusaha untuk memberi solusi. Terlebih dalam keyakinan saya, Agama Islam, saling mengingatkan dalam kebaikan adalah wajib bagi setiap muslim. Tapi cara kita mengingatkan juga haruslah baik, kita tidak boleh menghakimi kesalahan. Sebaliknya, kita harus mencoba memahami mengapa mereka melakukannya dan pelan-pelan berikan solusi kepadanya.
Sudah terbukti bukan? Bahwa gaul atau cerdas sosial itu gak mesti ngawur. Karena kita adalah bagian dari solusi, bukan masalah bangsa ini. Karena kita adalah motor penggerak perubahan, bukan perangsang kehancuran. Buktikan! Bahwa pelajar Indonesia kini tidak hanya cerdas pikiran, tetapi juga cerdas sosial!
Salam Kreatif � Kritis,
Pratama
إرسال تعليق