Sejak kemunculannya, 2 Agustus tahun lalu, sepertinya Buku Sekolah Elektronik masih menjadi persoalan yang serius di dunia pendidikan. Pertama, susahnya untuk bisa mengunduh buku elektronik itu dari internet. Persoalan seperti belum adanya jaringan internet di beberapa wilayah Indonesia juga merupakan masalah dari penyediaan BSE ini. Yang terjadi berikutnya adalah BSE tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Kedua,penerbit masih keberatan dengan HET yang di patok Depdinas. Penerbit menginginkan HET berada dikisaran harga 70 persen dari HET yang ditentukan karena faktor seperti biaya editor, royalti penulis, pendistribusian, kertas, dan faktor resiko kerugian masih harus ditanggung oleh penerbit. Sedang Depdiknas menganggap HET sekian itu masih terlampau tinggi.
Gambar oleh:grungetextures
Ketiga, setelah beredar, ternyata pemanfaatan BSE juga belum optimal karena kurang cepatnya sosialisasi dan tidak meratanya informasi tentang program itu di kalangan sekolah. Padahal terdapat 407 judul buku teks pelajaran yang sudah dibeli hak ciptanya oleh pemerintah, dan 74 judul di antaranya telah dicetak. Bayangkan berapa biaya untuk itu semua untuk penggunaannya yang tidak maksimal karena ketidaktahuan pihak sekolah.
Dan saat ini, menjelang tahun ajaran baru, siswa tetap harus membeli buku cetak pelajaran sekolah yang harganya cukup mahal. Orang tua harus mengelurkan uang sekitar Rp 450.000-Rp 1,2 juta untuk 14-18 buku pelajaran serta lembar kerja siswa. Ini tentu saja memberatkan bagi sebagian besar orang tua siswa.
Kita semua menyayangkan begitu cepatnya perubahan kurikulum � tiap ganti pemerintahan harus berganti kurikulum yang dengan demikian harus berganti buku pelajaran tentunya. Buku adalah hal utama dalam belajar. Jika ini tetap menjadi masalah hingga di waktu � waktu ke depan, betapa berat beban yang harus ditanggung orang tua.
إرسال تعليق