Aku turun dari sepeda motor temanku, aku menumpang padanya siang itu. Baru saja aku menjejakkan kakiku, sebuah bis yang tidak kuperhatikan sebelumnya, terbuka beberapa jendela kacanya yang berwarna hitam, lalu tersembul beberapa kepala siswa darinya. Aku masih tidak memperhatikannya hingga kepala - kepala itu menjeritkan namaku. Ternyata, orang - orang yang meneriakkan namaku itu adalah bekas - bekas muridku dahulu yang juga baru pulang dari sekolah mereka.
Aku mengajar di SMP desa. Lima belas kilometer dari kota kecilku ke arah timur yang bergunung. Lima belas kilo meter ke sekolahku itu adalah jalanan yang rusak karena terus menerus dilewati truk trailler bermuatan barang - barang berat bahan untuk mendirikan pembangkit listrik. Setiap hari aku berangkat ke sekolah tempat aku mengajar dengan menumpang angkutan umum yang bisa dikatakan cukup banyak. Mengapa aku tidak naik sepeda motor yang lebih cepat? Ada beberapa jawaban.
Saya membaca beberapa artikel global warming dan saya sadar bahwa dengan menaiki sepeda motor saya sendiri, berarti saya telah ikut andil dalam memanaskan suhu di bumi. Kedua, seperti yang saya tulis sebelumnya, jalanan menuju ke sekolahku rusak berat. Bersepeda di jalanan seperti itu membuat badan lebih lelah dan rawan sekali kecelakaan mengingat jalan itu adalah jalan yang cukup ramai dengan lalu lalangnya sepeda motor anak sekolah yang sering ugal - ugalan. Ketiga, jalur menuju sekolahku cukup ramai dengan angkutan umum. Karena banyaknya angkutan umum itu, sopir sering kebut - kebutan untuk berebut penumpang. Ini artinya tidak ada perbedaan waktu yang signifikan antara naik sepeda motor dengan naik angkutan umum untuk sampai ke sekolah. Keempat, saya tidak naik sepeda motor ke sekolah karena saya tidak memiliki sepeda motor. Dan nampaknya, ini adalah jawaban yang sebenarnya dari pertanyaan itu.
Tidak ada separoh dari murid saya yang lulus Ujian Nasional yang melanjutkan ke SMA atau SMK. Alasannya selalu sama; tidak ada biaya. Maka biasanya selepas SMP, anak - anak yang tidak melanjutkan sekolah itu merantau ke Jakarta atau Kalimantan atau Sumatra untuk menjadi pembantu rumah tangga atau tenaga penebang kayu. Sekolah masih menjadi barang yang mewah bagi sebagian besar murid - murid saya.
Maka, jika ada dari mereka yang bisa melanjutkan ke SMA atau SMK, itu sudah sangat beruntung sekali. Di dekat sekolah tempat aku mengajar itu ada sebuah Madrasah Aliyah Muhammadiyah. Beberapa muridku ada yang melanjutkan ke sana. Namun, untuk bersekolah di SMA atau SMK, mereka harus ke kota. Lima belas kilo ditempuh dengan sepeda motor jika orang tua mereka mampu untuk membelikan. Namun jika tidak, sepertiku, mereka akan naik angkutan umum. Seperti bekas murid - muridku siang itu.
Namun, setelah tulisan yang kesana kemari di atas, sebenarnya saya tidak berniat untuk menceritakan jalanan yang rusak atau anak - anak yang tidak melanjutkan sekolah. Saya akan menceritakan perasaan saya ketika bekas murid - murid saya itu memanggil saya dengan berteriak. Dengan melambaikan tangan. Dengan tersenyum.
Jalanan di siang yang terik itu ramai dengan orang karena di dekatnya ada sebuah pasar tradisional yang ramai. Ketika semua bekas murid saya yang berada di dalam bis meneriakkan nama saya, tiap orang yang ada di situ memandang saya. Dan, saya malu karenanya. Maka, saya hanya tersenyum saja kepada mereka.
Mengapa mereka harus berteriak keras - keras? Bikin malu saja. Dan perasaan malu itu terus menerus memaksa saya untuk memikirkannya. Saya malu sekali awalnya, namun setelahnya, entah berapa jam kemudian, terpikir oleh saya, jika mereka memanggil nama saya, meskipun dengan berteriak, bukankah itu berarti mereka masih mengingat saya, guru mereka ketika masih di SMP dulu?. Mengapa saya harus malu untuk sesuatu yang seharusnya saya syukuri. Mereka mengingat saya. Ini luar biasa.
Saya bahagia dan, ya saya ingat, sembari berlalunya bis, mereka sekali lagi meneriakkan; "Selamat pulang pak?!"
إرسال تعليق