Ada sebuah parodi yang menggelitik saya. Dalam sebuah kondisi, seorang professor, yang tentu saja dihormati karena pencapaian intelektual yang telah dimilikinya, memerintah sekelompok orang untuk melakukan sesuatu. Aneh, tak seorangpun yang menanggapi seruan sang professor. Kerumunan orang itu hanya menoleh kepada suara yang dihasilkan professor seperti menoleh kepada desiran angin. Tak seberapa lama, seorang awam yang tentu tak secerdas sang professor, menyerukan hal yang sama dengan yang diserukan oleh sang professor. Ajaib, semua orang bergegas memenuhi seruan itu.
Kalau kita pikir sekilas, seorang professor pasti memiliki pengaruh lebih dari seorang awam. Seorang professor memiliki ilmu yang luas. Jelas seorang awam tidak bisa dibandingkan keilmuannya dengan seorang professor. Tetapi, untuk menggerakkan orang lain, keilmuan semata tidaklah cukup. Seseorang harus memiliki karakter. Dalam parodi yang saya tulis ulang di atas, nampaknya sang professor tidak memiliki karakter yang cukup untuk mempengaruhi orang lain.
Seorang pendidik tidak hanya bertugas menyampaikan ilmu pengetahuan. Mereka juga berkewajiban untuk mempengaruhi anak didik agar berbuat benar. Untuk itu, seorang pendidik harus memiliki karakter yang kuat. Jika kita mencoba mempengaruhi orang lain sedang kita tidak mempunyai karakter yang kuat, kita hanya akan bernasib sebagaimana sang professor di atas.
Bagaimana agar kita memiliki karakter? Karakter adalah buah dari kebiasaan yang kita lakukan. Agar kita berkarakter, kita harus merubah kebiasaan � kebiasaan kita. Jika kita terbiasa santai, kita harus membiasakan diri untuk dikejar � kejar kewajiban menumpuk yang harus segera diselesaikan. Jika kita terbiasa menunda � nunda, kita harus mulai berpikir, �inilah saatnya�. Jika kita terbiasa berkutat dengan �dunia� kita, wilayah aman kita, kita harus membiasakan diri untuk keluar dari kungkungan dunia kita. Memperluas wilayah aman kita. Terus belajar hal � hal baru. Dan yang tak kalah penting, kita harus berani mengambil resiko dan bertanggung jawab atas apapun yang telah kita lakukan.
Kita harus mengganti kebiasaan � kebiasaan buruk kita dan menggantinya dengan yang terbaik. Berat memang. Tapi, kesulitan selalu berada di awal. Pada saatnya nanti, kita akan terbiasa juga. Pada saat terbiasa itulah, karakter kita terbentuk.
Banyak dari kita yang pandai berteori. Perkataan dan tulisan � tulisan kita memukau dan menjadi rujukan banyak orang. Namun, dalam tataran praktek, seringkali kita tidak sememukau perkataan dan tulisan kita. Sebagaimana sorang komentator pertandingan tinju di televisi yang kita yakin tidak memiliki ketrampilan bertinju di atas ring.
Sudah selayaknya apa yang kita katakan dan apa yang kita tuliskan juga menjadi apa yang kita lakukan. Ini penting. Seorang guru yang tetap tekun belajar, selalu memperbarui ilmunya, akan memiliki kesempatan lebih besar untuk dituruti perkataannya oleh para murid � muridnya. Seseorang yang hanya mengenal cangkul dari bahan bacaan, tentu berbeda dengan seseorang yang terbiasa menggerakkan tangannya untuk mencangkul ketika menjelaskan kepada orang lain mengenai alat pertanian ini.
Berkarakter atau tidakkah kita? Lihat dari bagaimana orang lain memperlakukan kita.
Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik bang imad di sini.
Seorang pendidik tidak hanya bertugas menyampaikan ilmu pengetahuan. Mereka juga berkewajiban untuk mempengaruhi anak didik agar berbuat benar. Untuk itu, seorang pendidik harus memiliki karakter yang kuat. Jika kita mencoba mempengaruhi orang lain sedang kita tidak mempunyai karakter yang kuat, kita hanya akan bernasib sebagaimana sang professor di atas.
Bagaimana agar kita memiliki karakter? Karakter adalah buah dari kebiasaan yang kita lakukan. Agar kita berkarakter, kita harus merubah kebiasaan � kebiasaan kita. Jika kita terbiasa santai, kita harus membiasakan diri untuk dikejar � kejar kewajiban menumpuk yang harus segera diselesaikan. Jika kita terbiasa menunda � nunda, kita harus mulai berpikir, �inilah saatnya�. Jika kita terbiasa berkutat dengan �dunia� kita, wilayah aman kita, kita harus membiasakan diri untuk keluar dari kungkungan dunia kita. Memperluas wilayah aman kita. Terus belajar hal � hal baru. Dan yang tak kalah penting, kita harus berani mengambil resiko dan bertanggung jawab atas apapun yang telah kita lakukan.
Kita harus mengganti kebiasaan � kebiasaan buruk kita dan menggantinya dengan yang terbaik. Berat memang. Tapi, kesulitan selalu berada di awal. Pada saatnya nanti, kita akan terbiasa juga. Pada saat terbiasa itulah, karakter kita terbentuk.
Banyak dari kita yang pandai berteori. Perkataan dan tulisan � tulisan kita memukau dan menjadi rujukan banyak orang. Namun, dalam tataran praktek, seringkali kita tidak sememukau perkataan dan tulisan kita. Sebagaimana sorang komentator pertandingan tinju di televisi yang kita yakin tidak memiliki ketrampilan bertinju di atas ring.
Sudah selayaknya apa yang kita katakan dan apa yang kita tuliskan juga menjadi apa yang kita lakukan. Ini penting. Seorang guru yang tetap tekun belajar, selalu memperbarui ilmunya, akan memiliki kesempatan lebih besar untuk dituruti perkataannya oleh para murid � muridnya. Seseorang yang hanya mengenal cangkul dari bahan bacaan, tentu berbeda dengan seseorang yang terbiasa menggerakkan tangannya untuk mencangkul ketika menjelaskan kepada orang lain mengenai alat pertanian ini.
Berkarakter atau tidakkah kita? Lihat dari bagaimana orang lain memperlakukan kita.
Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik bang imad di sini.
إرسال تعليق