Hari ini saya melihat sebuah pemandangan yang luar biasa, pemandangan yang bisa dikatakan mewakili mental dari keseluruhan bangsa kita. Mental yang tidak baik tepatnya. Mental priyayi yang inginnya selalu memerintah dan tidak ingin diperintah. Mental untuk selalu menjadi atasan dan tidak mau menjadi bawahan.
Sebuah mental yang sebenarnya diwariskan oleh feodalisme Belanda yang telah menjajah kita selama tiga setengah abad lamanya. .
Agustus adalah bulan yang sibuk bagi rata � rata sekolah. Di bulan ini mereka menyiapkan berbagai hal untuk memeriahkan acara peringatan ulang tahun kemerdekaan. Tak terkecuali sekolah saya. Panitia dibentuk untuk bertanggung jawab atas berjalannya kegiatan. Tapi, inilah yang terjadi.
Saya bersama rekan � rekan guru yang lain masuk dalam panitia sebagai pendiri stand. Biasanya, stand didirikan di lapangan yang biasa digunakan untuk memajang berbagai hasil karya siswa. Mulai dari SD sampai SMA, semua mendirikan stand dengan tujuan ini. Karena ini sebuah pekerjaan yang besar, tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada siswa. Mereka diminta membantu saja.
Tampilan stand membawa nama sekolah. Untuk itu, stand harus dibuat semegah dan sebaik mungkin. Nah, disinilah peran guru. Mereka harus bekerja sama untuk bisa membuat stand yang diharapkan itu. Namun, disinilah mental priyayi yang saya sebut di atas terlihat. Di sekolah dimana saya mengajar, ternyata berjumlah cukup banyak.
Mereka, para pemilik mental priyayi ini, umumnya hanya mondar � mandir melihat, memberi perintah ini itu, mengoreksi dan bahkan menyalahkan pekerjaan yang dilakukan oleh rekannya. Sedang mereka sendiri tidak pernah memegang gergaji, tidak mengayunkan palu, tidak juga mengecat.
Hanya dengan bermodalkan mental priyayi, kita pasti tidak akan memiliki perusahaan sebesar SONY.
Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, mental pekerja di sini.
Saya bersama rekan � rekan guru yang lain masuk dalam panitia sebagai pendiri stand. Biasanya, stand didirikan di lapangan yang biasa digunakan untuk memajang berbagai hasil karya siswa. Mulai dari SD sampai SMA, semua mendirikan stand dengan tujuan ini. Karena ini sebuah pekerjaan yang besar, tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada siswa. Mereka diminta membantu saja.
Tampilan stand membawa nama sekolah. Untuk itu, stand harus dibuat semegah dan sebaik mungkin. Nah, disinilah peran guru. Mereka harus bekerja sama untuk bisa membuat stand yang diharapkan itu. Namun, disinilah mental priyayi yang saya sebut di atas terlihat. Di sekolah dimana saya mengajar, ternyata berjumlah cukup banyak.
Mereka, para pemilik mental priyayi ini, umumnya hanya mondar � mandir melihat, memberi perintah ini itu, mengoreksi dan bahkan menyalahkan pekerjaan yang dilakukan oleh rekannya. Sedang mereka sendiri tidak pernah memegang gergaji, tidak mengayunkan palu, tidak juga mengecat.
Mereka tidak mau mengotori tangan mereka dengan bekerja. Mereka tidak membasahi tubuh mereka dengan keringat untuk bekerja. Menurut pemikiran mereka, mereka sudah bekerja hanya dengan mondar � mandir. .
Bangsa kita tidak akan besar karena orang � orang bermental priyayi. Bangsa kita akan besar hanya dengan orang yang bermental pekerja. Yang mau bekerja keras. Saya ingat tulisan Akio Morita tentang perusahaan elektroniknya, SONY. Di sebuah bagian dalam bukunya ia menyebut tentang anaknya yang bekerja siang malam, nyaris tanpa tidur ketika mengerjakan sebuah proyek perusahaan. .
Hanya dengan bermodalkan mental priyayi, kita pasti tidak akan memiliki perusahaan sebesar SONY.
Hanya dengan memiliki orang � orang bermental priyayi, akan banyak orang yang bangga dengan mobil mewah mereka, bangga dengan telepon selular mereka yang canggih meskipun sampai kapanpun mereka tidak mampu membuat produk serupa.
Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, mental pekerja di sini.
إرسال تعليق