Membaca Surat Pembaca di harian KOMPAS (26/08/07) yang ditulis oleh Rizki Yaldi saya jadi miris. Pak Rizki, tinggal di Jakarta, menulis bahwa saat ini SD Negeri mewajibkan anak-anak, yang akan duduk di kelas satu, bisa menulis dan membaca. Padahal, tulis Pak Rizki, di TK Negeri percontohan di Jakarta sekalipun, anak-anak belum diajari menulis dan membaca sehingga Pak Rizki harus mencari les tambahan bagi anaknya agar bisa lolos masuk SD.
Zaman memang terus berubah. Pesatnya laju perkembangan teknologi dan informasi membuat banyak orang tahu dan sadar bahwa kunci untuk masa depan adalah; pengetahuan. Pendidikan menjadi begitu penting dan diagung-agungkan. Paradigma mewariskan harta yang banyak bagi anak cucu kini beralih pada bagaimana agar kita mampu membekali anak cucu dengan ilmu pengetahuan. Ini menggembirakan mengingat bahwa tidak ada satu pun negara maju yang meraih kemajuan tanpa dilandasai ilmu pengetahuan. Kita bisa menoleh pada Korea. Sumber daya alam Korea tidak sekaya Indonesia. Tapi penguasaan ilmu pengetahuan oleh warga negaranya telah membawa Korea pada kemakmuran.
Hanya saja, segala sesuatu ada tahapan-tahapannya. Ada hukum alam yang tidak boleh diterjang begitu saja. Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan sangat detail. Dan bagi saya, membuat persyaratan bisa membaca dan menulis bagi anak-anak yang akan masuk SD adalah sesuatu yang menerjang hukum alam serta sangat kontra produktif dengan tujuan awal pendidikan.
Mengapa begitu? Bukankah umur-umur pra sekolah merupakan masa keemasan bagi setiap orang dimana mereka bisa belajar banyak hal dengan mudah? Bukankah Maria Montessori dan Glenn Doman telah membuat metode menulis dan membaca yang terbukti efektif bagi balita? Lalu apa salahnya mensyaratkan bisa membaca dan menulis bagi anak yang akan masuk SD? Bukankah dengan demikian akan mempercepat proses pendidikan? Bisa jadi pertanyaan-pertanyaan serupa itu yang akan muncul. Saya jawab; benar. Profesor Benjamin S. Bloom dari Universitas Chicago melaporkan hasil penelitiannya bahwa lima puluh persen kemampuan belajar seseorang dikembangkan pada masa empat tahun pertama, tiga puluh persen antara empat dan delapan tahun, dan 20 persen terakhir antara delapan dan tujuh belas tahun. Penelitian Bloom menunjukkan bahwa masa balita adalah masa-masa emas yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Berangkat dari asumsi yang kurang lebih sama, Montessori dan Doman mengembangkan metode baca tulis mereka.
Yang menjadi masalah, apakah semangat kita untuk mengeksploitasi masa emas anak-anak telah sesuai dengan prosedur yang benar? Yang banyak terjadi di lapangan, belum. Ambillah pengalaman Pak Rizki yang ditulisnya di Surat Pembaca. TK dimana anaknya sekolah (TK Negeri), tidak mengajarkan menulis dan membaca. Maka yang dilakukan Pak Rizki agar anaknya bisa menulis dan membaca sehingga bisa diterima di SD adalah dengan mencarikan les tambahan. Anak-anak yang masih suka bermain-main, dengan bermain-main itulah mereka belajar, harus banyak duduk diam dan serius melafalkan kata-kata atau merasakan pegalnya otot-otot yang mencoba menuliskan huruf-huruf. Masa anak-anak terenggut oleh sistem yang rusak, oleh orang tua yang malu kalau anaknya tidak bisa diterima di SD karena belum bisa membaca.
Padahal, Friedrich Froebel, orang Jerman yang mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) yang pertama, menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak kecil sebagai persiapan memasuki SD. Froebel mengadopsi pemikiran Jean-Jackques Rousseau, filosof abad 18, dan pengikutnya yang berkebangsaan Swiss, Johann Pestalozzi yang mengatakan bahwa kunci pembelajaran terletak pada pengembangan kemampuan indra anak-anak yang dimulai dari pengalaman-pengalaman kongkret melalui beberapa tahap belajar dengan latihan-latihan formal. Singkatnya, Froebel mendirikan TK untuk melatih indra anak-anak sehingga mereka siap untuk belajar secara akademis di SD.
Di Amerika Serikat, setiap hari anak-anak TK (di Amerika seorang anak dimasukkan TK pada umur 5 tahun) didorong untuk melakukan pelatihan seperti berputar, lompat tali, keseimbangan, berjungkir balik, dan menggelinding. Mereka juga diminta untuk berayun seperti tarzan di tali-tali buatan, memanjat, bersepatu roda, dan bersalto. Sedang di dalam kelas, mereka bermain dengan banyak permainan yang telah dipola untuk merangsang indra penglihatan, pendengaran dan perabaan mereka. Mereka melakukan ini semua dalam waktu setahun. Kemudian di akhir tahun, mereka dites untuk mengikuti siap tidaknya masuk SD. Pembaca terhormat, seperti itulah TK di negara maju.
Maka, tidakkah terlalu berat bagi anak-anak kita, jika kita membebaninya dengan melatih membaca dan menulis? Memang Montessori dan Doman melatih anak-anak untuk menulis dan membaca dalam usia yang sangat dini. Tetapi ada tambahan yang perlu dicamkan bahwa pada awalnya, penelitian Montessori dan Doman ditujukan kepada anak-anak yang mengalami gangguan otak. Riset mereka dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa anak yang �kurang� sekalipun, akan dapat menulis dan membaca jika tersedia lingkungan yang mendukung.
Bahkan, sebenarnya, Montessori tidaklah mengajari anak-anak yang �kurang� itu menulis. Hanya saja dia menyediakan fasilitas dimana anak-anak dapat mengembangkan kemampuan motorik sehingga mereka sendiri yang menemukan cara untuk menulis. Inilah latihan-latihan pra menulis yang diberikan kepada anak-anak dengan gangguan otak, seperti yang dituturkan oleh Pauline Pertab � pakar metode Montessori : Di usia 2 setengah tahun, anak-anak didorong untuk menuangkan air dan mengelap, mengembangkan koordinasi tangan dan mata, melukis, menggambar, mengembangkan kontrol atas pensil, bekerja dengan bentuk dan pola, menyusuri bagian dalam dan luar sebuah gambar dan bekerja dengan huruf-huruf yang besarnya 9 cm untuk mendapatkan kepekaan akan bentuk. Semua itu dilakukan secara bertahap dan hati-hati, sampai mereka bisa menulis tanpa ada unsur paksaan yang membuat jenuh.
Begitu juga metode membaca Doman. Metode Doman terdiri dari seperangkat kegiatan yang tidak akan membuat bosan anak-anak. Bahkan Doman sejak awal menekankan agar menghentikan pembelajaran membaca ketika pengajar atau anak yang diajar tidak enjoy, sampai mereka mendapat suasana hati yang tepat.
Penelitian Montessori dan Doman di atas menunjukkan bahwa belajar yang paling baik adalah ketika kita mendapatinya sebagai sesuatu yang menyenangkan. Thomas Alva Edison, penemu paling populer, pernah mengatakan : �Saya tidak pernah bekerja, seharipun, dalam hidup saya. Semuanya adalah keasyikan. Edison mendapati pekerjaan yang dilakukannya sebagai sesuatu yang menyenangkan. Dan hasilnya, Dia menjadi penemu yang sangat produktif, dengan memiliki 1093 hak paten atas penemuannya.
Pertanyaannya. Apakah latihan membaca dan menulis bagi anak-anak pra sekolah kita sudah menjadi kegiatan yang menyenangkan, atau malah sebaliknya, merampas �kemerdekaan� mereka? Beda dengan metode Montessori, Anda akan melihat anak-anak TK menuliskan huruf A sampai Z berlembar-lembar jumlahnya. Beda dengan metode Doman anda akan menemukan anak-anak kita belajar membaca tanpa disertai kepekaan kita akan rasa jemu yang mungkin ada pada mereka. Kita tidak peka, bahwa hal-hal �kecil� seperti inilah yang akan menjadi masalah �raksasa� di kemudian hari.
Saya khawatir dalam usianya yang sebegitu dini, telah terekam dalam memori mereka bahwa belajar adalah sesuatu yang sangat membosankan, bahkan memuakkan. Sehingga ketika mereka beranjak remaja, kita, orang tua, akan pusing tujuh keliling dengan anak-anak kita yang malas belajar atau yang belajar tetapi hanya sebatas memenuhi kewajibannya sebagai pelajar. Bukan kerena mereka senang belajar.
Langkah solutif kita � jika kita mengacu kepada hasil penelitian Bloom bahwa 50% kemampuan belajar seseorang dikembangkan pada 4 tahun pertama � adalah dengan melatih dan memaksimalkan peran orang tua dalam proses pembelajaran anak. Orang tua mempunyai jam interaksi dengan anak yang lebih panjang daripada orang lain. Impian kita, setiap orang tua memahami proses tumbuh kembang anak dan trampil dalam memberikan rangsangan yang tepat untuk menumbuhkan minat belajarnya. Kita berharap mereka dilatih menerapkan metode Montessori dan Doman bagi anak-anak mereka di rumah. Sesuatu yang, setidaknya untuk saat ini, masih berupa utopia.
Pembaca terhormat, kita mestinya mengedepankan proses belajar ketimbang hasil dari belajar. Mencetak anak-anak yang bisa menulis dan membaca di usia mereka yang baru lima tahun tidaklah seratus persen salah selama dilakukan dengan benar tanpa membuat mereka trauma untuk belajar. Tahun-tahun awal dari kehidupan seorang anak akan sangat berpengaruh pada kecenderungan mereka di kemudian hari. Kita harus bertindak benar sedari awal, jangan malah membuatnya layu sebelum berkembang.
Untuk membaca lebih jauh mengenai mendidik anak, silahkan klik di mengajarkan membaca di sini.
إرسال تعليق