Cobalah anda buka kamus babon Oxford Advanced Learner�s Dictionary untuk kata profession (profesi). Anda akan menemukan bahwa profession adalah a paid occupation especially one that requires advanced education and training (suatu pekerjaan upahan, khususnya yang mengharuskan adanya pendidikan tinggi dan pelatihan). Lalu, mari kita kaitkan kata paid (upahan) dengan kata guru sebagai suatu profession (profesi). Dan hubungkan kaitan antara kedua kata diatas dengan sertifikasi guru.
Menurut Drs. Tirto Adi, M.Pd. dalam artikelnya di majalah ini (10/2007), tujuan sertifikasi guru adalah, salah satunya, meningkatkan kesejahteraan guru sebagai pendidik profesional. Kita semua tahu bahwa profesi guru, saat ini banyak dihindari oleh anak-anak kita yang cerdas. Padahal, seorang guru haruslah seorang yang cerdas. Tapi mengapa anak-anak cerdas enggan menjadi guru? Mengapa mereka lebih memilih menjadi dokter, insinyur atau pengacara? Karena profesi guru adalah profesi Oemar Bakri, yang hidup dari menggadaikan SK!
Sertifikasi guru diniatkan untuk mendongkrak martabat guru dengan memberikan penghasilan yang layak bagi mereka. Tetapi, sebagaimana lazimnya pekerjaan manusia, mekanisme sertifikasi tidak lepas dari kekurangan. Lihatlah dokumen ke tujuh dari penilaian portofolio (karya pengembangan profesi). Skor maksimum taksiran, seperti yang ditulis Drs. Tirto Adi, M.Pd., yaitu satu artikel dalam jurnal terakreditasi, dua artikel dalam jurnal tidak terakreditasi dan dua artikel di koran lokal, masih akan dirasakan berat bagi rata-rata guru. Ambillah contoh dari berapa jumlah guru yang menulis di majalah ini dengan yang tidak. Jangankan menulis. Apakah anda kira semua guru mau membaca majalah ini? Padahal untuk menulis diperlukan aktivitas membaca yang kontinyu. Berarti, berapa guru yang akan lolos sertifikasi?
Kalau kita kembali ke definisi profession menurut kamus Oxford, guru memang telah diupah (paid). Hanya, upahnya belum sepadan dengan pendidikan tinggi (advanced education) dan pelatihan (training) serta pekerjaan yang dilakoni para guru. Kita hargai upaya untuk meningkatkan kemakmuran para guru. Tapi syarat-syarat untuk mendapatkan kemakmuran itu dirasa berat. Maka jangan heran jika lima tahun mendatang profesi guru masih sepi peminat dari kalangan orang-orang cerdas, karena secara umum martabat guru belum terangkat.
Seharusnya, sistem penggajian guru tidak ditetapkan berdasarkan mutu dari masing-masing guru. Karena, kalau demikian, akan berseberangan dengan sifat dasar penggajian yang asalnya merupakan hak yang harus diterima guru sebagai pekerja. Ini kalau kita mau merujuk pada Recommendation Concerning the Status of Teachers yang dikeluarkan oleh dua organisasi PBB (UNESCO dan ILO) dalam pasal 124. Maka, mestinya sertifikasi guru (dalam format yang sekarang) hanya diberlakukan setelah guru makmur secara finansial. Guru mestinya bergaji besar (baca : layak) dan sertifikasi menawarkan gaji yang lebih besar sekaligus prestise sebagai guru yang profesional.
Mengapa demikian? Karena, alih-alih meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan guru, sertifikasi hanya akan menimbulkan masalah dan beban di kemudian hari. Tersiar kabar bahwa ada guru-guru yang telah lama memimpikan kemakmuran, telah berbuat tidak jujur dalam menyusun portofolio. Mulai dari manipulasi jumlah jam mengajar sampai pemalsuan piagam atau sertifikat. Jika guru yang tidak jujur ini lolos sertifikasi, kita tidak perlu mengharapkan perbaikan kinerja guru meskipun mereka dibayar dua kali lipat.
Belum lagi masalah pendidikan profesi bagi guru yang tidak lolos uji sertifikasi. Seperti yang telah saya tulis di muka, umumnya, guru akan berhenti dari kegiatan-kegiatan akademis seperti membaca serius, meneliti dan menulis laporan, seperti yang telah mereka lakukan selama menjadi mahasiswa. Terlebih lagi guru-guru yang secara usia memang sudah tua. Tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pekerjaan membuat mereka merasa tidak mampu lagi jika masih harus dihadapkan pada �permasalahan-permasalahan� akademis. Ujung-ujungnya jelas, pendidikan profesi tidak lebih dari sekedar formalitas. Belum lagi tugas mengajar yang harus ditinggalkan untuk menjalani pendidikan profesi. Bisa jadi di awal-awal, guru yang bersangkutan meninggalkan tugas. Kemudian pihak sekolah menunjuk guru sebidang studi di sekolah yang sama untuk merangkap mengajar kelas yang ditinggalkan itu karena jika mengangkat guru honorer sekalipun, pasti akan diperlukan anggaran dana yang tidak sedikit untuk menggajinya. Sangat tidak etis jika untuk meningkatkan profesionalitas dan kemakmuran guru, murid-murid terkurangi haknya untuk diajar.
Kemudian, pembatasan kuota untuk mengikuti sertifikasi juga dinilai tidak adil bagi beberapa kalangan guru. Karena disinyalir adanya nepotisme dalam penentuannya. Pembatasan kuota memang tidak tepat seratus persen karena kuatnya sistem �perkoncoan�. Namun menggunakan peringkat skor pun tidak akan steril dari manipulasi data. Ujung-ujungnya, setali tiga uang.
Terakhir menurut saya, sertifikasi tidak akan menghasilkan kesejahteraan guru yang sebenarnya apalagi peningkatan mutu pendidikan. Saya percaya, bahwa sertifikasi guru tidak akan berhasil meraih tujuan-tujuannya jika guru tidak diberi upah yang layak terlebih dahulu. Harusnya sertifikasi diadakan �hanya� untuk mendapat upah yang lebih tinggi dan predikat guru profesional yang bergengsi. Tanpa menaikkan gaji guru sampai pada tingkatan yang layak dan minus syarat tertentu, upaya apapun untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan mutu pendidikan hanya akan menimbulkan lingkaran setan yang tak ketahuan ujung dan pangkalnya.
إرسال تعليق