Latest News

Wednesday, March 31, 2010

Ayo Ngguyu





dina minggu konco yo dolanan
padha ngumpul rame bebarengan
timbang nganggur becik gegojegan
crita lucu ngguyu cekakakan

ayo ngguyu (ha ha ha ha ha )
ngguyu maneh (ha ha ha ha ha )
yen ngguyu lha aja seru-seru

ayo ngguyu (ha ha ha ha ha )
ngguyu maneh (ha ha ha ha ha )
yen ngguyu lha aja seru-seru

Tuesday, March 30, 2010

Dalam Sepinya


Kenalan saya, orangnya konyol benar. Terkesan urakan bahkan. Bicaranya tak pernah serius. Guyon terus. Pakaian yang dikenakannya sekenanya saja. Potongan rambut bahkan aksesoris yang ia pakai mengensankan bahwa ia orang yang �nakal� dan tak punya prinsip sama sekali.
Senang tidur dan teledor.
Tapi stop, itu adalah kesan kita jika melihat dia pertama kali, ataupun jika kita mengenalnya tapi tidak pernah ke rumahnya sama sekali.
Begitu kita mengenal lebih dalam orang ini, benar � benar kita akan tersentak. Dalam sepinya, ia bukan orang yang seperti itu.
Ketika saya bermalam di rumahnya kali itu. Ia bukan orang yang saya kenal di luaran. Rumahnya memiliki 3 kamar tidur yang salah satunya khusus untuk �tidur� buku � buku tebal dan Koran � Koran yang selalu dijamahnya setelah subuh. Kira � kira ada dua ribuan buku di kamar itu. Berjejalan rapi di rak.
Ia selalu bangun satu jam sebelum subuh untuk shalat tahajud. Salah satu hal yang tak pernah ia tinggalkan. Shalat subuh. Membaca. Bekerja. Membaca lagi. Tidur siang. Mengajari anak � anaknya dan mendampingi mereka. Membaca lagi. Lalu tidur. Itu jadwal hariannya yang ketat. Entah ada tamu atau tidak. Jadwal itu dilaluinya tanpa mengabaikan orang yang bertandang atau undangan yang diterimanya.
Ia memiliki televisi tapi sepertinya barang itu merana karena tidak begitu diperhatikan pemiliknya.
Semua barang yang berada di rumahnya tertata rapi tanpa debu. Ia dan istrinya sendiri yang merapikannya.
Oh ya, istrinya, adalah seorang wanita yang sangat sederhana. Tangannya kasar dan kuat karena memang tidak diperlakukan dengan manja. Wanita ini yang mengurusi rumah. Berdua dengan si suami yang tampak �slebor� itu.
Ternyata, dalam sepinya, pria �rock and roll� itu seorang yang sangat perfeksionis dan serius.
Apakah ini salah satu kelainan atau ciri orang yang berkepribadian ganda? Saya tidak tahu.
Tapi apa yang dilakukannya di luar membuatnya memiliki banyak teman, dan apa yang dilakukannya di dalam rumah membuat hidupnya lebih tertata dan bahagia. Saya beruntung bisa kenal orang langka seperti ini.

Modal


Modal Ibuka ada dalam kocek dan kepalanya (Ada sedikit uang kontan masuk sebagai hasil penjualan Volmeter yang dibuat perusahaannya yang dulu).
Masaru Ibuka itu adalah seorang insinyur listrik yang juga salah satu pendiri SONY Corp. Di fotonya, Ibuka itu orangnya kurus, berkacamata dan kelihatan kalau ia orang yang cerdas.
Tapi saya bukan mau ngomong masalah foto. Saya suka dengan kalimat pembuka di atas; Modal Ibuka ada dalam kocek dan kepalanya. Ibuka yang bermodal sedikit uang namun dengan isi kepala yang hebat, mampu membuat sebuah perusahaan elektronik yang cukup disegani di dunia. Yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa perusahaan Ibuka itu didirikan tepat setelah perang usai.
Sekarang mari kita bertanya pada diri kita sendiri. Apa modal saya ya? Apa modal anda? Apa modal kita?
�Wah gaji saya gede!�. Tapi pengeluarannya jauh lebih gede.
�Eh, saya kan tampan ya.�
�Saya termasuk cantik lho!�.
Lalu ketampanan dan kecantikan itu digunakan untuk �ngrusak�.
�Lho, jangan salah mas, saya lulusan Universitas top.�
Terus? Masih terus belajar tidak?
�Lho, tentu no!�
Belajar apa? Terus ada gunanya bagi orang lain tidak. Jangan � jangan njenengan belajarnya hanya agar bertambah gajinya. Terus gaji itu nanti akan mengalir ke orang seperti Masaru Ibuka itu.
�Ya, kalau itu bukan urusan sampeyan.�
Yo betul, bukan urusan saya. Saya juga tidak mau repot ngurusi yang macam gitu kok.
Tapi, saudara � saudara, Charles Darwin tidak pernah bilang bahwa ekor nantinya akan berevolusi menjadi kepala dan begitu sebaliknya. Tidak ada dalil yang seperti itu.

Orang yang Cuma �Ngikut� tidak akan mungkin jadi �Frontman�!!

Saturday, March 20, 2010

Masyarakat Literer


Sebelum anda meneruskan membaca, ada baiknya anda tonton dulu video berikut:



Video ini adalah potongan film The Jane Austen Book Club. Wanita dalam adegan di video itu adalah seorang guru bahasa Prancis yang menikah tetapi tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itulah ia berselingkuh dengan salah seorang muridnya, pemuda yang di seberang jalan.
Sang guru adalah salah seorang anggota dari klub membaca yang mengkhususkan membaca karya � karya Jane Austen, penulis berkebangsaan Inggris. Ketika perselingkuhan mereka berubah menjadi lebih serius, di sinilah manfaat dari kebiasaan membaca muncul.
Ketika si guru akan menyeberang jalan untuk menemui selingkuhannya, berpikirlah sang guru akan untung rugi yang akan didapatkannya dari perselingkuhannya dengan sang murid. Digambarkan bahwa seolah lampu lalu lintas yang hanya bertuliskan �WALK� dan �DON�T WALK� itu berubah menjadi �WHAT WOULD JANE DO�. Kebiasaan membaca mempengaruhinya dalam mengambil keputusan.
Melihat film The Jane Austen Book Club saya teringat tulisan Jacob Sumardjo di harian KOMPAS. Beliau menulis:
Manusia literer mampu berpikir abstrak, melihat substansi peristiwa. Cakap dalam melihat hubungan � hubungan peristiwa dalam strukturnya yang tetap. Orang begini tidak mudah dihasut karena tidak melihat berdasar inderawi, tetapi akal budi. Mereka mampu mengambil jarak dengan segala sesuatu di luar dirinya. Segala sesuatu dilihat obyektif, apa adanya, bukan bagaimana tampaknya. Orang � orang ini kritis, berbuat setelah matang pemikirannya karena ia melihat perspektif aneka kemungkinannya.
Mari segera membaca.

Thursday, March 18, 2010

Pengangguran Intelektual: Pantaskah Kaum Intelektual Menganggur?


Frase itu (Pengangguran Intelektual � Red.) beberapa kali saya dengar belakangan ini. Entah kenapa, saya merasa frase itu adalah sebuah bentuk penghinaan dan perendahan derajat. Bagaimana bisa kata pengangguran digabungkan dengan intelektual? Tapi setelah saya merenung sejenak, ya... Faktanya memang bicara demikian. Hal ini membuat saya penasaran, hal apa yang menyebabkan ini terjadi?

Masa iya sih. Seorang yang dikaruniai puluhan bahkan ratusan buku selama 4 tahun masih menganggur? Seorang yang telah menganalisis dan menyelesaikan banyak masalah masih menganggur? Seorang yang telah berkembang dalam lingkungan sosial yang membangun dan kompetitif masih menganggur? Dan banyak lagi kebingungan-kebingungan saya tentang fakta ini.

Ada beberapa sebab menurut saya mengapa hal ini bisa terjadi?

1. Pola Pikir Lama Warisan Belanda
Menjadi jajahan Belanda selama 3,5 abad benar-benar mempengaruhi pola pikir dan karakter bangsa ini. Belanda banyak memberi warisan bagi bangsa ini. Tapi sayang, warisan itu kini tak lagi relevan tapi masih saja kita gunakan. Salah satunya adalah sekolah dan menuntut ilmu untuk menjadi pegawai (itulah mengapa saya merekomendasikan reorientasi belajar). Belanda memberikan pendidikan kepada pribumi agar bisa dijadikan tenaga terampil dan berkualitas tapi murah. Itulah mengapa banyak kaum intektual yang menganggur, karena lamarannya terus-terusan ditolak. Padahal masih banyak peluang lain yang belum dilirik (Peluang bisnis salah satunya).

2. Berorientasi pada Status dan Jabatan
Menurut saya ini juga salah satu warisan Belanda. Dulu, pribumi merasa bangga ketika mereka diangkat sebagai pegawai kompeni, pribumi lain dianggap lebih rendah darinya. Itulah mengapa banyak kaum intelektual yang gengsi untuk memulai dari bawah. Mereka lebih bangga menjadi karyawan kantoran dengan gaji 3 juga perbulan, dibanding jadi tukang nasi goreng dengan laba 300 ribu perhari. Selain itu, mereka juga merasa tidak bisa berkontribusi tanpa jabatan. Padahal sesungguhnya, banyak kontributor besar di bangsa ini yang tak punya jabatan struktural. Karena jabatan itu sementara, tapi kontribusi dan kapasitas itu abadi.

3. Hanya Mengejar Prestasi Belajar
Bayangkan! Jika seorang doktor ternyata menjadikan disertasi sebagai karya terakhirnya. Itulah yang akan terjadi ketika seseorang hanya mengejar prestasi belajar. Sehingga, jangan heran jika banyak sarjana S1 yang hanya mampu menawarkan ijazahnya. Hal ini karena mereka tidak membangun tradisi belajar. Tradisi yang membuat para sarjana, master, dan doktor terus membaca, menulis, meneliti, dan berdiskusi meski tak lagi mengejar ijazah dan dipepet tugas kuliah. Menurut mereka prestasi hanyalah bonus dari kontribusi dan karya yang telah mereka ciptakan.

Sudah jelas, bahwa akar masalahnya sebenarnya terletak pada pola pikir kita. Pola pikir yang diwariskan oleh nenek moyang yang kini tak lagi relevan dengan tantangan zaman. Pola pikir yang telah mengkungkung kita dalam ketertinggalan. Pola pikir yang membuat kemajuan itu tak kunjung datang, meski bangsa ini punya puluhan juta pejuang intelektual.

Ingat! Perubahan besar adalah akumulasi dari perubahan-perubahan kecil yang saling menguatkan. Begitu pun, tak ada perubahan dalam skala bangsa, sebelum kita memulainya dari skala individu. Tidak ada 10 tanpa 1, begitu pun tidak ada 200 juta tanpa 1. Dekatkan bangsa Indonesia dengan kemajuan dengan terus melakukan perubahan dan perbaikan, mulai dari diri sendiri, hal kecil, dan sekarang juga!

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

Saturday, March 13, 2010

Ketakutan Kita


Pernah tidak anda mendengar kata � kata berikut ini:
�Aku sungguh tidak betah kerja di sana. Semua orang bersaing secara tidak sehat. Saling sikut saling jegal. Setiap orang yang kelihatan menonjol, pasti dicari � cari kesalahannya. Semua orang menunggu kesalahan yang mereka buat untuk dijadikan bahan menjatuhkan. Betul �betul menjemukan.�
Karena setiap orang yang menonjol pasti ditunggu � tunggu kesalahannya untuk dijatuhkan, sebab itulah banyak orang yang berdiam diri, tidak mau berusaha untuk mengeksplorasi kelebihan � kelebihannya. Semua orang menjadi pasif. Statis, tidak bergerak kemana � mana.
Semua orang sebenarnya memiliki potensi yang sama untuk berhasil. Yang membedakan di antara mereka hanyalah kegigihan dan ketekunan untuk mencapai keberhasilan. Orang yang tekun dan gigih, kita tidak sedang menafikan kecerdasan kognitif di sini, pasti akan berhasil. Cuma, sayangnya, tidak semua orang memiliki kesabaran untuk menjadi tekun. Ketidak sabaran inilah yang menyebabkan mereka menjadi culas. Iri dan dengki ketika orang lain lebih berhasil daripada dirinya. Padahal keberhasilan yang didapat itu merupakan hasil dari susah payah mereka sendiri.
Lalu, bagaimana sikap kita jika kita berada dalam kondisi yang sedemikian itu? Marianne Williamson menasehati kita dengan kata � kata indah. Kata - kata indah yang ditujukan bagi mereka yang hanya diam, tidak berbuat apa � apa karena takut akan berhadap � hadapan dengan rekan mereka sendiri yang culas. Berikut yang dikatakannya:
Ketakutan kita yang paling dalam bukanlah bahwa kita ini tidak mampu. Sebaliknya, ketakutan kita yang paling dalam adalah bahwa kita amat sangat berkuasa. Cahaya kita, dan bukan kegelapan kita lah yang menakutkan kita. Kita bertanya pada diri sendiri: Siapa aku ini, untuk menjadi begitu cerdas, tampan, berbakat, dan hebat? Lho, memangnya siapa kamu sehingga merasa tidak pantas untuk itu? Kamu adalah ciptaan Alloh. Perilakumu yang mengecil � kecilkan diri itu sama sekali tidak ada gunanya bagi dunia ini. Sama sekali tidak bijak bila kamu mengerutkan dirimu hanya agar orang lain tidak merasa kecil dan tak aman berada di sekitarmu. Kita semua ini dimaksudkan untuk bersinar cemerlang, sebagaimana anak � anak memang begitu. Kita dilahirkan untuk menyatakan kemuliaan Alloh yang berada di dalam diri kita; ya, bukan hanya ada di dalam diri beberapa orang di antara kita, tetapi dalam diri setiap orang di antara kita. Dan bila kita membiarkan cahaya kita bersinar cemerlang, secara tidak sadar kita mengizinkan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Ketika kita terbebas dari ketakutan kita, kehadiran kita secara otomatis membebaskan orang lain.

Sudahlah, lakukan yang terbaik. Biarkan orang yang culas dengan keculasan mereka.

Friday, March 12, 2010

Suatu Hari di Negeri Antah Berantah


Lama tidak posting sesuatupun di blog ini. Hingga kali ini, karena tergelitik dengan berita tentang peristiwa di negeri antah berantah yang kudengar dari seorang kawan lama tak jumpa.
Kawan saya, kata dia, mendapatkan berita itu dari televisinya. Saya terlalu malang untuk dapat menikmati televisi, Karena itulah aku sampai tertinggal berita tentang peristiwa di negeri antah berantah itu.
Begini kisahnya; alkisah, di negeri antah berantah, pada suatu ketika terjadi gempa bumi yang hebat bukan kepalang. Begitu hebatnya hingga rumah � rumah reot kaum tak berpunya pada rubuh rata dengan tanah.
Tak terkecuali rumah mbah Sukijo. Nah dari mbah Sukijo inilah berita biasa tentang gempa bumi, menjadi berita yang sangat spektakuler.
Mbah Sukijo yang sebatang kara, sedih bukan kepalang menyadari rumahnya yang tak lagi bisa ditempati. Rumah itu harta satu �satunya baginya. Tak ada lagi yang lainnya. Rumah reot tempat berteduh dari hujan dan panas itu tak ada lagi. Di tempat mana lagi ia mesti tinggal.
Beruntung, tetangganya yang baik hati bersedia memberikan tumpangan kepadanya. Bukan di rumahnya lho. Melainkan di kandang kerbau miliknya. Ya, daripada kehujanan kepanasan, tidur dengan kebo pun tak apalah, mungkin begitu pikir mbah Sukijo.
Tinggallah mbah Sukijo, Oh ya, mbah Sukijo yang sepuh itu menderita beberapa penyakit lho, dengan kebo dan gudel � gudelnya.
Penderitaan mbah Sukijo, dengan tanpa sengaja, ketahuan oleh seorang wartawan televisi yang serta merta membuat berita tentangnya dan menyiarkannya ke seluruh negeri. Dunia gempar. Seorang jompo berpenyakitan, tidur dengan kebo, mengapa tak ada yang peduli? Betapa memalukannya!!!
Para punggawa kerajaan yang dicerca public sedemikian rupa menjadi kalang kabut. Buru � buru mereka mengundang televisi dan wartawan ke kediaman mbah Sukijo di kandang kebo. Dengan wajah memelas tapi tetap tak melunturkan kekhasan seorang priyayi, para punggawa berkata: �Kami semua merasa prihatin dengan keadaan ini. Dan harus dicatat baik � baik oleh mas dan mbak wartawan bahwa kami peduli dengan penderitaan yang telah menimpa mbah Sukijo ini. Dengan ini kami beritahukan bahwa kami telah membangun sebuah rumah yang layak untuk dihuni oleh mbah Sukijo. Kami benar � benar ikhlas dengan hal ini dan kami berharap bahwa ini akan dapat menghilangkan penderitaan mbah Sukijo. Terima kasih.�
Selanjutnya, mereka menyalami mbah Sukijo. Bertanya ini itu. Wajah mereka tampak sedih. Namun tetap tak melunturkan kepriyayian mereka.

Thursday, March 11, 2010

Paradoks Perasaan Saat Update Status Facebook


Facebook memang menjadi salah satu inovasi terbesar saat ini (menurut saya). Banyak kejadian menarik yang terjadi karenanya. Termasuk di Negara kita, Indonesia. Bahkan facebooker (masyarakat facebook) kini sudah mulai punya kekuatan menekan tersendiri. Ingatkan dengan kasus grup yang mendukung Bibit Candra dan Cicak vs Buaya? Hal ini menandakan facebook kini bukan lagi sekedar gaya hidup, tetapi sudah seperti kampung yang punya masyarakat beserta potensinya tersendiri. Inilah facebooker: new society.

Selain seputar facebooker yang kini seakan sudah menjadi masyarakat baru tersendiri, ada sebuah fenomena menarik lain: Update Status.

Fitur ini sebenarnya disajikan untuk melaporkan keadaan atau status user kepada teman-teman yang lain. Tetapi pada prakteknya fitur ini menjadi multifungsi, banyak yang bisa dilakukan dengannya. Anda bisa menyuarakan opini anda, gagasan anda, bahkan perasaan hati anda. Eits, tapi ada sebuah paradoks di sini, ketika anda sedang mengetikkan status itu. Apakah itu?

Jadi, konsep sebenarnya begini. Status anda adalah sebuah pesan yang anda tampilkan untuk dilihat oleh teman-teman anda. Sehingga berbagai status yang anda buat sebenarnya mau tidak mau pasti akan mencitrakan diri anda. Oooh, si A orangnya begitu toh? Oooh, ternyata si B orangnya temperamental toh? Terkadang banyak orang yang tidak begitu dekat dengan anda, tetapi menjadi teman facebook anda menilai anda dari setiap status yang anda tampilkan.

Tetapi, faktanya anda sebagai pengirim pesan malah merasa facebook adalah ruang privasi layaknya diary yang bisa menjadi tempat curhat dan menumpahkan segala yang anda rasa secara �terlalu jujur� dan blak-blakan. Di sinilah paradoks perasaan itu terjadi. Anda merasa ini ruang privasi, padahal kenyataanya ini adalah ruang publik. Yaa, mungkin anda memposting status dalam kesendirian, tetapi pesan yang anda bawa itu pasti akan tersebar dalam keramaian.

Ingatkah anda dengan kasus statusnya Luna Maya? Yaa, meski itu di twitter, konsep kejadiannya tetaplah sama. Di mengucapkan kata-kata bernada cacian yang mungkin seharusnya hanya di simpan di hati atau paling tidak di tulis dalam diary saja. Ia mengalamai paradoks perasaan!

Di balik setiap masalah selalu ada dua sisi yang saling bertolak belakang: hambatan atau kesempatan. Paradoks perasaan ini mungkin membuat anda menjadi sedikit lebih berhati-hati saat mengupdate status bahkan menjadi kurang leluasa berbicara. Tapi, paradoks perasaan juga menyajikan anda sebuah kesempatan untuk merekayasa citra anda di depan teman-teman facebook anda melalui status-status yang tepat guna dan sesuai sasaran. Let�s Get the Chance!

Salam Kreatif � Kritis,
Pratama

Monday, March 8, 2010

Lingkungan Sosial yang Membangun


Seperti yang sudah dijelaskan banyak orang, manusia adalah makhluk sosial. Menjadi bagian dari sebuah kelompok dan lingkungan adalah sebuah kepastian. Anda butuh orang lain dan orang lain butuh anda. Dari lingkup yang terkecil hingga terbesar, dari keluarga hingga rekanan kerja. Semua berpengaruh dalam hidup anda. Begitu pun anda bepengaruh bagi hidup mereka. Semunya berjalan secara timbal balik layaknya hukum demand and supply dalam ekonomi.

Sekarang pertanyaannya, seefektif apa pengaruh itu? Sebesar apa pengaruh itu? Seefisien apa pengaruh itu? Hmm... Menarik untuk dicermati. Coba anda perhatikan lingkungan sosial sekitar anda.

Berapa banyak orang yang anda temui setiap hari? Berapa banyak orang yang anda ajak ngobrol setiap hari? Berapa banyak orang yang anda telpon dan sms setiap hari? Berapa banyak orang yang anda wall dan beri komentar di Facebook setiap hari? Banyak sekali bukan?

Nah... Sekarang coba jawab lagi. Berapa banyak dari mereka yang memberi anda pelajaran hidup? Berapa banyak dari mereka yang anda beri pelajaran hidup? Berapa banyak dari mereka yang memberi anda inspirasi? Berapa banyak dari mereka yang anda beri inspirasi? Berapa banyak dari mereka yang memberi anda manfaat? Berapa banyak dari mereka yang anda beri manfaat? Jauh lebih sedikit bukan?

Itulah masalah anda kini. Terlalu banyak hubungan relasi, informasi, dan komunikasi yang anda bangun tapi kenyataannya justru TIDAK MEMBANGUN. Hubungan yang seperti itu tidak membantu anda menuju pertumbuhan dan kemajuan. Hubungan seperti itu juga menghabiskan jatah waktu anda yang sebenarnya sangat sedikit dan sebentar ini.

Ada dua pilihan bagi anda yang merasa aktivitas hubungan sosial anda tidak berjalan efektif dan efisien: Hentikan sama sekali atau Perbaiki hubungan itu.

Jika anda berniat untuk memperbaikinya, setidaknya hubungan sosial itu harus memiliki satu dari dua: Mampu memberi manfaat untuk anda atau Anda mampu memberi manfaat untuk mereka.

Pastikan! Setiap sehabis berkomunikasi dengan orang lain anda selalu mendapatkan pertumbuhan dan kemajuan. Baik itu karena anda mendapatkannya dari langsung orang lain ataupun secara tidak langsung anda bisa menambah kelekatan informasi dengan membaginya pada orang lain. Di sini pulalah, terlihat betapa pentingnya proporsionalitas antara berbicara dan mendengarkan.

Jika anda tidak mampu membangun lingkungan sosial anda, buatlah lingkungan sosial anda mampu membangun anda. Atau sebaliknya, jika lingkungan sosial anda tidak mampu membangun anda, buatlah anda mampu membangun lingkungan sosial anda. Ini adalah sebuah misi timbal balik tanpa henti. Lakunkanlah sesuai bagian dan saatnya: menerima manfaat dan memberi manfaat.

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

Saturday, March 6, 2010

Jurusan IPA vs IPS: Masihkah Harus Dipertentangkan?


Melihat dari ramainya komentar di posting terdahulu tentang enaknya jadi siswa di jurusan IPS, saya jadi tertarik untuk membuat posting lanjutan. Selain itu, komentar-komentar itu juga banyak berisi perdebatan yang terjadi antara siswa jurusan ipa dan ips yang berusaha saling mempertahankan keunggulan dari jurusannya masing-masing.

Perdebatan atau silang pendapat memang hal biasa, tetapi jika perdebatan itu telah mengarah ke saling menjatuhkan, dibanding mencari kebenaran. Maka, perdebatan itu tak boleh diteruskan. Karena pihak yang berseteru tidak mencari titik temu bersama, tetapi titik kemenangan sendiri.

Sekarang saya bertanya. Masihkah harus kita mencari mana yang lebih baik di antara jurusan IPA dan IPS? Masih perlukah siswa jurusan IPA dan IPS berdebat demi pengakuan kehebatan? Masih perlukah siswa jurusan IPA dan IPS saling menjelek-jelekkan satu sama lain? Masihkan harus keduanya dipertentangkan?

Tidak! Karena zaman telah berubah. Kini, kita akan banyak menemukan anak IPA yang gaul, anak IPS yang ilmiah, anak IPA yang jadi ketua organisasi, atau pun anak IPS yang juara lomba karya ilmiah. Semua dimungkinkan, karena zaman pendiskreditan siswa pada jurusan tertentu telah usai. Tidak ada itu anak IPA pasti kuper atau anak IPS pasti gak pinter. Ingat! Kini zaman telah berubah.

Penjurusan yang dulu dimaksudkan untuk persiapan diri siswa sebelum kuliah dengan jurusan tertentu kini tak lagi relevan. Sehingga jurang pemisah antara jurusan IPA dan IPS pun kini semakin tak kelihatan. Semua siswa berhak menjadi apa pun yang dia inginkan tanpa dibatasi oleh cap-cap dan label-label tertentu.

Kini, bukan zamannya lagi siswa jurusan IPA dan IPS berdebat untuk unggul-unggulan diri. Tetapi untuk berjuang demi bangsa dengan mengaktualisasikan diri sesuai dengan minat dan potensi. Jadi, kini tidak ada lagi perkataan, �Lu IPA, gw IPS!�, tetapi �Apa yang bisa lu di IPA dan gw di IPS berikan buat bangsa?

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

Thursday, March 4, 2010

Urgensi Pendidikan Life Skill


Sepanjang sejarah, orang � orang muda seusia anak didik kita merupakan bagian dari suatu masyarakat yang paling produktif. Namun sayangnya, keproduktifan yang dimiliki oleh rata � rata kaum muda itu tidak termanfaatkan secara optimal disebabkan kurangnya arahan dan motivasi. Maka, yang sering terjadi, alih � alih memberikan kontribusi yang positif kepada masyarakat luas, sebagian kaum muda itu malah menjadi beban bagi lingkungan di mana mereka tinggal. Sebutlah misalnya kenakalan remaja (yang ditandai dengan dilakukannya tawuran, pemakaian alkohol dan narkoba dan lain sebagainya).
Kondisinya semakin parah ketika kaum muda tadi lulus dari sekolah. Mereka terjebak pada masalah pengangguran disebabkan minimnya lapangan pekerjaan dan ketidak-mampuan untuk menciptakan pekerjaan. Bertambahlah deret pengangguran yang merupakan salah satu faktor peningkatan angka kriminal.
Pendidikan disebut � sebut sebagai salah satu penyebab terjadinya situasi ini. Pendidikan dituding telah gagal membantu peserta didik dalam meningkatkan dan mengembangkan potensi mereka yang nantinya akan berguna bagi diri mereka sendiri dan masyarakat. Mengapa? Karena pendidikan yang berlangsung selama ini hanya mengedepankan kemampuan akademik. Padahal, pendidikan seharusnya dapat memberikan kemampuan yang dibutuhkan anak untuk hidup. Latar belakang inilah yang di kemudian hari mencetuskan perlunya pendidikan yang lebih berorientasi pada life skill (kecakapan hidup).
Pendidikan Life Skill dipandang sebagai solusi tepat bagi permasalahan yang muncul. Team Broad Base Education Depdiknas merumuskan bahwa tujuan pendidikan life skill adalah:

Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi.
Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas.
Pemanfaatan sumber daya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakatr, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Mengembangkan potensi manusiawi peserta didik menghadapi perannya dimasa mendatang
Membebankan pembelajaran yang fleksibel dan memanfaatkan potensi SDM yang ada di masyarakat dengan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
6. Membekali peserta didik dengan kecakapan hidup sebagai pribadi yang mandiri.

Untuk mencapai tujuan ini peserta didik perlu memiliki kecakapan dalam memimpin, berkomunikasi, berinteraksi dengan sesama dan kecakapan intelektual sekaligus. Selain itu, mereka juga harus memiliki kemauan keras untuk bertanggung jawab dan menghargai diri mereka sendiri. Kecakapan � kecakapan di atas merupakan modal dasar untuk menjalani hidup yang lebih berkualitas. Selebihnya adalah dimilikinya ketrampilan dan keahlian yang diperlukan oleh masyarakat.
Karena, sebagaimana ditulis di muka, pendidikan selama ini masih berorientasi pada kemampuan akademis, maka perlukah kurikulum pendidikan kita diubah? Tidak perlu. Yang perlu kita lakukan adalah menyesuaikan kurikulum yang telah ada agar dapat menjawab kebutuhan � kebutuhan yang diperlukan secara nyata oleh masyarakat.
Pendidikan Life Skill dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Metode pembelajaran setiap mata pelajaran dapat dilaksanakan sedemikian rupa sehingga dapat merangsang jiwa kepemimpinan, ketrampilan berkomunikasi, bernegosiasi, bekerja sama, memecahkan masalah, mengambil keputusan, berpikir kritis, dan mengevaluasi diri sendiri. Selain itu perlu diciptakan atmosfir pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk dapat memiliki kepercayaan diri dengan cara menghargai setiap usaha mereka dan berpikir positif bahwa apapun yang mereka lakukan merupakan bagian dari proses untuk meraih keberhasilan.
Proses pembelajaran yang berorientasi pada siswa, jika dilaksanakan secara benar, sebetulnya telah dapat mengakomodir kebutuhan siswa akan kecakapan yang penulis sebutkan di muka. Karena itu, guru harus terus menerus dilatih untuk dapat menerapkan metode pembelajaran yang ideal dan efektif. Dan, semestinya tidak berhenti hanya pada pelatihan, evaluasi secara berkala juga diperlukan untuk menjaga agar proses pembelajaran yang ideal itu tetap berlangsung. Bukan hanya sebagai aktifitas yang hangat � hangat tahi ayam.
Selain itu, diperlukan upaya yang serius untuk mengidentifikasi bakat dan kecenderungan masing � masing siswa. Identifikasi atas bakat dan kecenderungan tiap siswa ini penting sebagai acuan dasar dalam melatih ketrampilan mereka. Pelatihan ketrampilan yang didasarkan atas minat dan bakat siswa lebih menjamin keberhasilan dari upaya untuk meningkatkan ketrampilan menjadi keahlian di kemudian hari. Selanjutnya, tiap sekolah seharusnya menyediakan berbagai jenis pelatihan ketrampilan untuk menampung minat dan bakat masing � masing siswa yang berbeda � beda.
Terakhir, untuk mengadopsi konsep Broad Base Education (BBE) atau Pendidikan Berbasis Luas, diperlukan kecermatan untuk mengetahui kebutuhan yang paling mendesak dari masyarakat setempat. Kebutuhan masyarakat perkotaan tentu berbeda dengan kebutuhan masyarakat pedesaan. Oleh sebab itu, tentu merupakan upaya yang sia � sia jika melatih siswa agar trampil dalam reparasi komputer, misalnya, di tengah masyarakat yang banyak berkutat di bidang pertukangan kayu. Diperlukan kejelian dalam melihat kebutuhan masyarakat ini. Pemilihan pelatihan yang hanya didasarkan pada prestise tanpa mengacu pada kebutuhan dasar yang mendesak dari masyarakat sekitar hanya akan berujung pada kemubadziran.

Wednesday, March 3, 2010

Serigala dalam Diriku



Aku memohon maaf,
kepada siapa saja,
yang telah menjadi
korban.....
dari serigala dalam diriku.
Sungguh aku selalu menyesalinya

Tags

Recent Post