Latest News

Friday, August 29, 2008

HARD INSIDE, SOFT OUTSIDE


Do you still remember my friend�s story in my post before? My friend said that it was almost impossible to change bad tradition in his working environment. If we are in such condition, there are only two possibilities; we are bit by bit influenced, or if we don�t want to, we must be the one who influence the others. Perhaps, at first my friend feels uncomfortable with the condition but then he must be adapted to it.
So, what can we do? Indeed it is hard to change a culture. It is hard to change one�s belief. But if we can�t change it, we can change ourselves. It is no need to ask somebody else to change. We don�t need to grumble. And we don�t need to judge anybody else. Let me reiterate, we just need to change ourselves.
Then, what about the others? Let them see you changed. If we are consistent with our change, gradually what we do will inspire the other to do the same. Everyone has their own virtue inside. We just need to awaken it by showing a pattern.




Thursday, August 28, 2008

MARTIR


Seorang teman saya yang mengajar di sebuah SMA Negeri di kota saya mengatakan bahwa ia tidak lagi betah mengajar di sekolah itu. Anak � anak yang bersekolah di sekolah itu sulit diajak bekerja sama. Nilai � nilai mereka sangat rendah dan cenderung tidak bisa menghargai guru. Guru � guru yang ada di sana pun menjadi bagian dari masalah. Kebanyakan mereka malas � malasan mengajar dan sering menempuh jalan pintas dengan memberi contekan saat Ujian Nasional.
Teman saya yang idealis itu tentu saja tidak bisa bekerja di lingkungan yang seperti itu. Dedikasinya untuk mengajar sangat tinggi. Ia orang yang sangat serius sejak mahasiswa.
Karena ia mengadukan masalah yang mengganjal itu pada saya, saya pun berusaha untuk menasehatinya. Saya katakan mengapa ia tidak berusaha untuk merubah keadaan itu. Dia katakan tidak mungkin. Semuanya sudah membudaya dan tidak mungkin lagi dapat dirubah.
Mendengarkan keluhan teman saya itu, saya teringat dengan sebuah kisah tentang sebuah pasukan perang yang tidak dapat menembus pertahanan musuh karena mereka dilindungi sebuah benteng yang besar lagi kuat. Satu � satunya akses jalan yang bisa digunakan untuk masuk kedalam benteng adalah sebuah pintu yang terkunci dan dijaga pasukan bersenjata lengkap. Melihat itu, seorang anggota pasukan yang berani mengorbankan dirinya dengan memanjat dinding benteng dan membuka kunci pintunya. Pintu terbuka seiring kematian sang prajurit yang tertembus ratusan anak panah.
Untuk sebuah tujuan yang mulia, kita terkadang perlu mengorbankan diri kita sendiri. Melawan arus utama adalah sebuah kepedihan. Tapi, entah kita dapat ikut merasakan atau tidak, suatu saat nanti perubahan akan terjadi. Lantaran kita.

Untuk membaca artikel ini dalam bahasa Inggris, silahkan klik, MARTYR di sini.



MARTYR


My friend who teaches in an elementary school told me that he didn�t like the school. The students are all idlers and they tend not to respect the teachers. Most teachers seemingly don�t have dedication. They never teach the students seriously. Often, they play truant. Teachers are also not fair when it�s time for the students to have final examination. Teachers give some answers of the final examination question to the students. Of course, all of them pass the exam although, actually, the students don�t own competence.
My friend hopes he never teaches a school like it. But that�s the fact he can�t avoid. He can only undergo it and wish this would be over soon. After listening to his gripe, I asked him why he didn�t try to finish it. He said it was hard or even impossible.
I remember a story about an armed military unit who couldn�t defeat their enemy because they were shielded with a strong fort. The only way to enter the port was a wide door which was locked. If they wanted to enter the fort, they must unlock the door. Something impossible. But then a man got ahead and he was willing to sacrifice himself for the unlocked door. And the door was opened as the man died with hundreds of arrow wounds.
Sometimes we have to sacrifice ourselves for the right thing. No matter how many times will be spent.




Sunday, August 24, 2008

FROM THEM WE LEARN


A quite poor mother bore a baby in Niderwald, Swiss, 1850. The baby was named Cesar Ritz. The baby, then, grew up in this poor farmer family. Generally, they who were born in a destitute family will not be effectual people. But the man who was called Ritz is dissimilar. He created a Gold Standard in hotel service which is called as Ritzy or Putting on the Ritz.
How did Ritz live his life? He firstly failed in becoming mathematician. His father sent him, once again, to city to learn about how to concoct wine. Instead, he worked in a hotel which had double bookkeeping entries to avoided tax and had bad management. But from the bad hotel he got a lesson; how important a costumer was in supporting business achievement.
Retreating from a hotel which he worked in before, he established his own hotel business. He saved to buy an old house in Paris which was then renovated for two years. Before reaching 48 years old, Ritz had had 210 rooms hotel. He named the hotel he built, The Ritz.
Now, the Ritz hotel spreads out from Dubai to Dallas. From Shanghai to Santiago. In 2011, the Ritz hotel targets to have 100 luxurious hotel network all around the world. Don�t forget that this was started by a child which was born by a poor farmer family.




TIDAK BISA MENULIS


Kita, saya kira, sama. Kita terkadang merasa otak kita buntu. Otak kita kosong melompong. Kita tidak memiliki apapun untuk ditulis. Saat ini, �penyakit� ini menjangkiti saya. Apa yang ingin saya tulis? Saya bertanya pada diri saya sendiri. Tapi tidak ada jawaban. Saya coba lagi. Lebih keras. Tapi tidak ada gunanya sama sekali. Sehingga saya hanya menulis dan menulis tanpa tujuan. Mungkin dengan itu saya akan mendapatkan petunjuk.
Saya memaksakan diri menulis karena ada yang mengatakan bahwa terkadang inspirasi datang ketika kita tengah menulis. Namun, jika saya tetap saja tidak mendapat inspirasi untuk menulis, mungkin saatnya saya meninggalkan komputer saya dan mulai membaca buku, Koran atau sumber bacaan lain. Dua hal itu adalah kunci untuk menulis, membaca dan menulis. Membaca dan menulis lagi dan lagi. Kita tidak perlu teori muluk � muluk tentang menulis. Tulis saja.
Saya tidak memiliki ide untuk menulis saat ini. Tapi tetap saja saya menulis. Mungkin, tulisan ini tidak penting bagi anda. Tapi, bagi saya, ini akan sangat berguna.

To read this article in English, please click, nothing to write here.




TENTANG SAYA



who are you??

Saturday, August 23, 2008

APA GUNA SEKOLAH?


Cobalah untuk bertanya kepada anak sekolah, di jenjang apapun, �Nak, untuk apa engkau sekolah?�. Saya pastikan kebanyakan dari mereka akan menjawab; �Saya sekolah agar pintar, jika saya pintar saya akan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Itulah yang diinginkan setiap orang. Mungkin, anda dan saya juga memiliki jawaban serupa itu. Ketika saya masih kecil, ibu saya sering menina-bobokan saya dengan nyanyian; Sekolaho sing pinter, tak dongakke besuk gedhe dadi dokter (Sekolahlah yang pandai, mudah � mudahan engkau kelak jadi dokter).
Tiap orang tua menyekolahkan anak � anak mereka dengan tujuan ini. Tak ada yang lebih membanggakan daripada melihat anak kesayangan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Nampaknya, tak ada yang bersekolah dengan tujuan hanya untuk menjadi pintar. Mendapatkan pekerjaan yang bagus ataupun tidak, bukan soal. Tujuan bersekolah adalah untuk menghilangkan kebodohan dalam dirinya dan juga orang lain. Jika mereka berilmu, mereka berharap dengan itu mereka bisa menjalani hidup yang lebih baik.
Tapi hal itu terdengar menggelikan. Dimana kita bisa mendapati orang semacam ini? Bersekolah hanya agar menjadi pintar? Berusahalah menjadi pandai, dan kau akan menjadi kaya. Itu rumusnya. Orang yang bersekolah hanya agar menjadi pintar semata � mata, hanya bisa ditemukan di dalam dongeng. Tidak di dunia nyata.
Kemarin, berita mengabarkan bahwa 4.516.100 dari 9.427.600 pengangguran terbuka pada bulan pebruari 2008 adalah lulusan SMA, SMK, program diploma dan universitas. Jika sekolah tidak bisa menjanjikan pekerjaan yang bagus untuk anda, sekarang, untuk apa anda sekolah?


Untuk membaca artikel ini dalam bahasa Indonesia, silahkan klik, what are schools for? di sini.




Friday, August 22, 2008

WHAT ARE SCHOOLS FOR?


ARTIKEL PENDIDIKAN � Try to ask a student of any school, �Son, why must you attend each lessons in your school?�. I am definitely certain most of them will answer you, �Because I need to be smart. If I am smart, I�ll obtain good jobs. That�s what everyone wants to get�. Perhaps, you and I also have similar answer. When I was a child, my mother always sang this lullaby; Sekolaho sing pinter, tak dongakke besuk gedhe dadi dokter (Be smart, I�ll pray you�ll be a doctor then).
Every parent enrolls their son and daughter to school for this purpose. Nothing more gladdening than finding the lovely son gets a very good job. Apparently, no one who attends school intends to be �just� smart. Getting good job or not is not a big deal. The only purpose in attending the school is to abolish their and also other people�s stupidity. If they are smart, they hope they�ll live their lives much better.
But it sounds ridiculous. Where can we find this kind of people? Going to school just for getting smart? Be smart and you�ll be rich. That�s the pattern. People who study for the knowledge solely can be found only in fairy tale. Not in the real world.
Yesterday news told that 4.516.100 of 9.427.600 open jobless people in February 2008, were graduated from SMA, SMK, diploma and university. If school can�t pledge you good jobs, now, what is your purpose for going to school?


APA YANG BISA KITA LAKUKAN?


Seorang teman saya yang seorang guru SMA, harus dimutasi ke SD. Saya kira berat baginya mengajar anak � anak seumuran SD karena selama ini ia mengajar anak � anak remaja. Saya pun menyambanginya dan menasihatinya agar dia bersabar dengan kerjanya yang sekarang. Tapi tanpa saya nyana ia menjawab dengan sebuah kalimat yang meruntuhkan persangkaan saya sebelumnya. Katanya, entah mengajar anak SMA atau anak SD sekalipun, tidak ada perbedaan yang perlu dirisaukan. Dia akan sangat bahagia jika anak � anak yang diajarnya bisa belajar dengan baik lantaran dia.
Banyak orang yang meremehkan guru � guru SD. Bagi mereka guru � guru SD tidak sepandai guru � guru yang mengajar SMA. Pelajaran � pelajaran SMA jauh lebih sukar daripada pelajaran � pelajaran anak SD. Menurut mereka, mengajar anak � anak SD tidak serumit mengajar anak � anak SMA.
Tapi teman saya yang ini tidak mengacuhkan asumsi dari beberapa orang di atas. Baginya, apa pekerjaanmu tidak sepenting dengan apa yang bisa kau lakukan. Meskipun dia mengajar anak � anak SD, dia akan merasa bangga jika dia mampu mencerdaskan anak � anak yang dididiknya. Dia tidak mencemaskan siapa yang dia didik. Dia lebih terfokus pada kewajiban yang diemban sebagai seorang guru.
Saat ini, banyak sekali yang begitu sibuk dengan penampilan luar mereka. Tapi, mereka tidak sadar bahwa mereka tidak memiliki peran apapun dalam berbuat bagi sesamanya.

Untuk membaca artikel ini dalam bahasa Inggris, silahkan klik, what can you do? di sini.




Thursday, August 21, 2008

WHAT CAN YOU DO?


A friend of mine, a teacher of a high school, must be mutated to a primary school. I think it�s hard for him to teach students of that age because previously, he taught adolescent students. So, I came to him and told him to be forbearing. But do you know what he said? He said very startling words. He told me that teaching high school students or even students of primary school were just the same. He would be happy if he taught successfully.
Some people humiliate those who teach students of primary school. According to them, teachers of primary school, of course, will not be as smart as teachers of high school students. High school subjects are more complex than primary school subjects. And they think teaching students of primary school will not be as complicated as teaching high school students.
But my friend doesn�t care about this assumption. For him, what you are is not as important as what you can do. Even though he teaches children, this will be his pride if he is just able to change the students from being silly to being smart. He doesn�t focus to the children he teaches. He focuses to his duty.
More and more people who are bustling to embellish their appearing. But they don�t notice their achievement in supporting other people.




Wednesday, August 20, 2008

EFEKTIFITAS ANGGARAN PENDIDIKAN


Seseorang mempertanyakan efektifitas dari dinaikkannya anggaran pendidikan yang dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono beberapa waktu lalu. Dia mengatakan bahwa kenaikan gaji guru hanya akan membuat guru menjadi malas. Buktinya, menurutnya, berapa banyak guru yang mampu atau mau menulis artikel di media masa. Bisa dihitung dengan jari. Kenaikan anggaran pendidikan tidak akan meningkatkan mutu pendidikan Indonesia.
Opini ini terdengar benar. Tapi, tidak sepenuhnya benar. Memang benar jika dikatakan bahwa hanya sedikit dari guru kita yang mampu dan mau menulis di media masa. Tapi, itu saja tidak mencerminkan rendahnya kualitas guru � guru kita. Apakah benar jika kita menentukan kualitas guru Indonesia dari mampu atau tidakkah mereka menulis di media masa?
Banyak guru yang sama sekali tidak tahu bagaimana mengoperasikan komputer. Tapi kebanyakan murid yang dibimbingnya sukses dalam hidupnya. Betapa banyak guru yang berotak cemerlang tapi tak mampu menghasilkan murid yang secerdas ia walupun satu saja. Apa gunanya seorang guru jenius jika ia tak mampu membuat murid � muridnya sadar tentang pentingnya belajar?
Guru harus dihargai dengan memberikan kepada mereka bayaran yang layak. Bayaran guru yang layak adalah salah satu faktor bagi peningkatan mutu pendidikan Indonesia di masa mendatang.

To read this article in English, please click, educational budget here.




Tuesday, August 19, 2008

EDUCATIONAL BUDGET


Someone questioned the effectiveness of educational budget increasing committed by President Susilo Bambang Yudoyono a few days ago. He said that the increasing of teacher�s salary would only bear idle teachers. The proof of it, he said, was how many teachers who were able to write an article in a mass media. They could be counted with our fingers. The rise of educational budget would not change Indonesian education quality.
This opinion is heard right. But it�s not completely true. Indeed, we have a few teachers who write or want to write an article in a mass media. Yet, it doesn�t reflect the grade of our teachers� quality. Is it fair to place teachers� writing ability as a proof of Indonesian teacher low quality?
There are many teachers who do not know whatsoever about how to operate a computer. But most students who are taught by them are success. How many teachers who are brilliant but they can not result intelligent student even one. What is the advantage of a genius teacher when they can not inspire the students to study?
Teachers must be respected by making a good payment to them. It�s a factor of Indonesian education progress in the future.




KENALI DIRI


Ketika Iwan Fals ditanya tentang kesiapan dirinya untuk menjadi seorang anggota legislatif atau bahkan seorang presiden, dia menjawab bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk menjadi seorang politisi. Padahal, ia mempunyai banyak sekali penggemar. Jika saja ia mencalonkan diri menjadi seorang anggota legislatif, bisa dipastikan banyak orang, penggemarnya, yang akan memilih dia. Tapi, itulah keputusan yang telah dibuatnya. Pilihan yang dibuatnya menunjukkan pada kita bahwa ia telah memiliki kematangan berpikir. Dia lebih tahu tentang dirinya sendiri dibandingkan dengan kita ataupun para penggemarnya. Dan menurut saya, dia telah membuat keputusan yang sangat tepat.
Saya yakin anda tahu bahwa saat ini banyak sekali artis yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa menjadi legislatif bukanlah keputusan mereka. mereka dicalonkan oleh partai. Sebagian yang lain mengatakan bahwa menjadi anggota legislatif adalah kewajiban moral yang harus mereka penuhi. Dengan menjadi anggota legislative, berarti mereka akan bisa berbuat untuk masyarakat. Politik telah memanggil mereka untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Namun, mampukah mereka menjadi seorang politisi? Dunia hiburan dan politik adalah dua hal yang berbeda sama sekali. Mampukah mereka berjuang untuk kepentingan masyarakat? Memang benar bahwa seorang selebriti memiliki popularitas dan banyak penggemar yang mengidolakan mereka. Tapi, itu saja tidak cukup. Mungkin mereka mengatakan bahwa mereka akan belajar dengan cepat. Tapi, masyarakat tidak akan mau menunggu.
Siapakah kita? dan Apa yang bisa kita lakukan? adalah dua pertanyaan yang seharusnya selalu kita tanyakan pada diri kita sendiri. Jika kita mengenal diri sendiri dan tahu apa yang bisa kita lakukan, saya yakin bahwa kita tidak akan menempuh jalan yang salah. Jika kita tidak memiliki kecakapan dalam mengerjakan sesuatu yang begitu pentingnya, mengapa kita memaksakan diri? Bukankah lebih baik jika kita membiarkan orang yang memiliki kecakapan untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Sedang kita, kita kerjakan apa yang bisa kita kerjakan.
Kita mestinya mengatakan: �Inilah saya�. Bukan, �Itulah saya�.

To read this article in English, please click, ARTIKEL PENDIDIKAN here.


Monday, August 18, 2008

IT�S NOT ME!


When Iwan Fals was asked about his willingness to run for a legislative or even presidential seat, he answered that he was incapable of running a country. In fact, he has many fans that would support him if he decided to be a candidate in presidential election. But that was his decision. The choice he chose shows us that he has reached fully grown of mind. He knows more about himself than we do. And I think he picked a right choice.
I am sure you have heard about some celebrities who named a candidate for legislative. Some of them said that it was not their intention. But the party put up them for those posts. The rests said that they had moral duty to participate in politics. That was the only way for them to do more for the public. Politic called them to solve many problems faced by the people.
But can they be those politicians? The showbiz world and politics are two which are too much different. Do they have capability to struggle for people�s necessities? Indeed, an artist has popularity and a lot of fans who idolize him or her. But those are not enough. Maybe they say that they will learn quickly. But people will not wait.
Who are we? and What can we do? are two questions that we must asked ourselves anytime. If we realize who we are and what we can do, I am certain we will not step on the wrong way. If we are not capable to do something then why must we compel ourselves? Isn�t it better for somebody else who has that kind of capability takes the position? And we take what we can take?
In any occasions and any places, we should say, �Here, I am. That�s not me!�




OBEY THE RULE


Dewi Persik dances erotically. A film director produces a controversial movie. Some people said that Dewi Persik�s dance is not a kind of pornography. It is a kind of art. So, when some people who are not in line with the erotic dance or a semi-porno movie protest, people who are agree will call them as a group of people who are not anything about art. Or, they will name the protester as hypocrites.
Is it right to say that the protesters are hypocrites? The protesters actually like the erotic dance but they don�t admit it. No, it�s completely wrong. Indeed, all of the men like the erotic dance. It is human instinct. We have a part of whole brain which is called as reptilian brain. This part controls the simple function like breathing, heartbeat, and other basic instinct. It is related to the effort of being survive and reproduction.
So, of course, all men, basically, like pornography or any erotic dance. But, we must restrict this human instinct. We may not give it free rein. Because if do so, there will be chaos. Not to dance erotically or not to make a vulgar movie is absolute. It is the rule. The rule that will keep the world always in harmony.




Sunday, August 17, 2008

MENUMBUHKAN KEULETAN


Di sebuah warung, saya mendapatkan pemandangan yang mengharukan. Seorang bapak dan anaknya yang berusia kira � kira empat tahunan masuk dan memesan makanan ketika saya baru saja mendapatkan pesanan. Karena orang lalu lalang keluar masuk ke warung itu, saya tidak begitu memperhatikan bapak dan anaknya itu. Mereka duduk di depan saya, tidak berhadap � hadapan, tapi membelakangi saya. Saya masih saja asyik dengan sendok dan mangkuk. Namun, saya sejenak tertegun ketika makanan diantarkan kepada mereka.
Bapak itu hanya memesan satu piring nasi dengan ayam goreng. Hanya satu saja. Dan nasi itu ternyata hanya untuk sang anak. Sedang sang bapak hanya menemani anaknya makan. Saya mengira mungkin bapak itu sudah makan di rumahnya. Namun dugaan saya salah. Bapak itu makan bersama � sama anaknya dari satu piring nasi dengan sepotong ayam! Untuk beberapa saat saya berhenti mengunyah dan meletakkan sendok. Memandangi bapak anak itu diam � diam.
Jika anda duduk bersama � sama saya dan menyaksikan itu, mungkin anda juga akan trenyuh. Atau mungkin bagi anda yang sudah begitu sering menyaksikan adegan serupa, merasa biasa � biasa saja. Akan tetapi, saya kira, ada baiknya kita membiasakan bersimpati dengan orang � orang yang hidup dengan keadaan seperti itu. Bisa jadi kita sering membuang � buang makanan. Tanpa rasa sayang sedikitpun. Padahal, bagi orang lain itu bisa berarti begitu berharga. Anda mungkin orang yang biasa mengeluarkan uang lima puluh ribuan rupiah hanya untuk secangkir kopi, padahal bagi orang lain, uang senilai itu digunakan untuk makan selama satu minggu.
Ada baiknya kita berlaku hidup sederhana meskipun kita mampu. Banyak orang � orang di sekitar kita yang keadaan ekonominya tidak sebaik kita. Jika kita hidup dengan sederhana, minimal tidak ada kecemburuan sosial yang akan timbul.
Dan kabar yang lebih baik, kesederhanaan dan keprihatinan ternyata dapat menempa jiwa manusia menjadi lebih tekun dan ulet. Sebaliknya, orang yang bisa dengan mudah mendapatkan apapun yang diinginkannya, kebanyakan tidak akan menjadi pribadi tangguh. Kehendak mereka tidak akan kuat. Karakter mereka lemah dan mereka tidak akan tahan terhadap tekanan.
Diperlukan tekad yang kuat untuk bisa hidup sederhana dan prihatin. Kita yang biasa mendapatkan dan memanfaatkan bermacam fasilitas dalam hidup, tentu akan merasa berat untuk hidup dalam kebersahajaan. Namun, jiwa kita memang harus dilatih untuk hidup demikian. Rasa berat di awal, tidak akan terus berlangsung hingga ke tengah dan akhir perjalanan.
Nanti, saat tubuh kita sudah terbiasa menjalani kekurangan, kita akan dapatkan kehendak kita pun menguat. Kekurangan yang kita alami akan membuat kita peka bahwa masih ada begitu banyak hal yang harus kita capai. Dan untuk mencapai itu, kita perlu bekerja keras.
Bapak dan anak yang saya dapati di warung kemarin, memiliki sebuah modal yang banyak tidak disadari sebagian besar orang. Mudah � mudahan hidup yang mereka alami akan memunculkan potensi si anak yang luar biasa.

Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, kreatifitas di sini.

OPEN LOWER SECONDARY SCHOOL


Open Lower Secondary School is held for students who can�t attend regular Lower Secondary School (SMP). It�s formal. The school is adapted to students� condition so it won�t burden them. The students of Open Lower Secondary School use module and other learning medias. They study in houses of worship, inhabitants� houses, village halls, and in the main Lower Secondary School. They learn in flexible time and they pay no school fee.
There are 2.576 Open Lower Secondary Schools and 10.365 places to study now. There are 306.749 students and 30.763 teachers of main school and 16.671 tutors. But, about 93,8 percent of students who have passed from the school, do not continue their study to higher school. Most of them go to work immediately after they leave their school.
They do not continue their study because of some reasons. The first reason is because they live in a remote area. The second; they are economically poor. The third; they help their parents to work for money. And the last, most girls are married soon after they pass the final examination. It�s about 6 percent of the students who continue their study.
It�s really a bad news to know that many children don�t keep on studying. It�s terrible to see that they marry in very young age.



TALK AND DO


There is a parody that I like much. It�s about a sophisticated professor who asked some people to do something. But no one did what the professor asked. The people only turned their heads as they turned them for the blow of wind. A few minutes later, an ordinary man, of course he was not as smart as the professor, asked the same thing. I can�t believe it; people were in a hurry to do what the man asked.
A professor must be a very intelligent person. But why did the people not hear and do what the professor asked? Because the professor didn�t have character to order the people. If we don�t have character, we won�t be able to influence other people.
A character is what we usually do. It is not what we usually talk or write. If we do good things continuously, we will get the character. Indeed, it�s hard for the first time. But soon we�ll become accustomed to them.



LESSON FROM BANG IMAD


Imaddudin Abdurrahim (78), or known as Bang Imad, passed away yesterday, Saturday morning (03/08). Bang Imad was the forerunner of dakwah in university. He did his dakwah in Institut Teknologi Bandung (ITB). And learning from ITB, all Indonesian universities ran their dakwah.
Bang Imad did his dakwah with his all heart and soul. He did his dakwah for one reason; university�s moslem students must have true faith. The true faith will make students� intelligence more useful for humanities.
Bang Imad didn�t do his dakwah for other reasons. He didn�t want people call him as a saint because of his dakwah. He didn�t want people call him as a hero either. And this brought big change.
When we do anything with all our hearts, people will see this. This will touch their hearts to do the same thing. We must be honest. Don�t be a fraud.



OUR BELOVED INDONESIAN


When I was a primary school student, I often heard some words which were a little strange. I asked my teacher about the words. My teacher said that actually those words were not Indonesians but were foreign vocabularies. Linguists found no Indonesian words which had closest meaning to those of foreign terms. So, they only changed the foreign words pronunciation.
When Indonesia was colonized by The Netherlands, there were some Dutch vocabularies which were transformed into Indonesian. Indonesians know the word kos. Kos was derived from Dutch.
Some Arabic and Chinese who came to Indonesia for trading purpose also influenced Indonesian. Kursi (chair) was from kursiyyun, an Arabic word.
It�s interesting to read Ahmad Baihaqie�s article which was published by Indonesian newspaper, KOMPAS (01/08/08). Baihaqie said that although Arabic language also took some foreign words, the linguists used archaic Arabic for those words. Baihaqie wrote some examples. Telephone is said hatif in Arab. Hatif means �can be heard but cannot be seen�. Computer is said Al Hisab which means �a tool to count�. And hand phone is said mahmul which means �a tool which can be brought anywhere�.
I think Indonesian linguists must do the same. It will save Indonesian.



THE SCHOOL WHERE I TEACH


The school where I teach is located in a remote area. Actually, the school is just 15 Kilometer far. But, because of its place � to reach the school you have to ride a motorcycle or public transportation along winding and bad road � it�s not a mistake to say that the location is isolated.
There are some accidents that are caused by that winding and bad road. You can see many wide and deep holes along the road. When it�s wet season, the road will be so slippery that you have to be more careful to run your motorcycle.
The only good thing I can find from the school, perhaps, is the fresh air. You know, fresh air is difficult to get nowadays. I think the distance and the dangerous road are the price I have to pay to have the fresh air. I tell you, I like the school although it�s hard to reach.



STOLEN MONEY


Mr. Headmaster gave me a letter from a parent of my student. The letter said that, Boini, my student, had lost her money, Rp. 70, 000, 00, at school. The money was intended to pay the school fee. Boini�s parents suspected that the money had been stolen. I said to Mr. Headmaster that I would solve this problem.
I entered the class and told the students about Boini�s money. I didn�t accuse that one of Boini�s classmates must steal the money. I just said that stealing was bad manner. I said that I hoped the stealer would give the money back to Boini. Because Rp. 70, 000, 00 was a lot of money and it was really hard to get it.
A day after, a student told me that he found a wallet with Rp. 20, 000, 00 in it. The wallet was Boini�s. But where did the Rp. 50, 000, 00 go? The next day, when a friend opened the door of teacher�s office, she found the rest. Boini�s Rp. 70, 000, 00 had been back.
Stealing is a bad mistake. I am sure that the stealer felt so inconvenient. So he/she gave the money back to release him/her from being awkward. Thanks to God.



BOOKS PROBLEM


Parents are always in a dither whenever they must send their son or daughter to a new school. They must spend a lot of money, that�s the reason. A newspaper said that parents must pay Rp. 1, 000, 000, 00 just for books. It�s so expensive.
Indonesian Government knows this problem and comes with a solution. The government bought some book copyrights and uploaded the book onto internet. Parents and school are free to download the books. EBook is much cheaper than printed books. For a while we are sure that this is the answer for many parents� problem.
But we are wrong. Downloading the EBook from the internet is not as easy as we think. Most Indonesians are not familiar with internet yet. Computers which are connected with internet are difficult to be found in most village or remote area. Moreover, the EBook has big capacity. It needs much time to download.
EBook is not the best source for students yet. That�s my conclusion. I think the government has to make printed book cheaper for every student. How can we learn without books? Books are primary things. If most Indonesian students can�t access book easily, good education will be farther of hope.



TURN YOUR T.V. OFF!!


Community for Research and Empowerment (CORE) called out the Indonesians to turn off their televisions on July 20th. Why must we turn our TV off? We cannot separate televisions from our daily life. It�s just like a close friend to us. And it seems to be more than friend to us today. Televisions have influenced our way of thinking and doing.
If the programs of televisions are positive, it will be the most effective tool to enlighten us. But they are not. Most television�s programs are not good enough and likely will harm us. Maybe you still remember about a child who was killed by his schoolmate. Before this tragedy happened, these two children acted as they were wrestlers. The children liked to watch wrestling � SMACK DOWN is the famous phrase for this sport - on TV. The children beat each other and they didn�t realize that it would be so dangerous. One of them was killed, finally.
I am sure you still remember about a mother who killed her children and then killed herself because of poverty. Televisions blew up this news. Tragically, no longer after the news, there was the same suicide for the same reason. It seems that televisions taught us to kill ourselves as the answer for the poverty.
Those are facts about television. We must be worry if our children spend most of their times in front of television. Some parents say that let the children sit to watch TV is safer than let them play outside. It is wrong. Television will persuade the children to imitate what they watch. It is worse because we don�t realize that television has influenced us. The two examples I wrote above are the proofs.
Indeed, it is hard to turn off our televisions. But if we don�t learn to do this, the terrible things I mentioned above will happen again. We can replace television with books to kill the time. Books have power to enlighten us. Televisions don�t.




RIDE YOUR BIKE!


I find a few bicycles on the road recently. When I was a student, most of the students rode bicycles to their schools. Not only the students, but also some teachers. But now, more and more students ride their motorcycles to their schools and other destinations. Since the price of motorcycles is cheaper and cheaper, bicycles are likely not popular right now. That�s the first reason. The second, of course, motorcycles are more comfortable to ride than bicycles.
But, then, the world is getting hotter and hotter. Those motorcycles take part in creating the hotter world. It seems that we must ride our bicycles again to decrease the global warming. And also do some other things to accomplish the purpose. Can we leave our motorcycles and start riding our bikes?
We will try. Some days ago, I rode my bike to go to my school. Arriving at school, some teachers asked me why. I said that I wanted to stay healthy. They laughed. It seemed that my answer was funny to them. I think that�s why a few people ride their bikes. Riding bikes is popular no more. So why do we choose unpopular thing?




TEACHER OF THE FIRST YEAR


After two years waiting, finally, I teach students of the first year. The last two years, I taught students of the third year. I found it as a hard work. Teaching the third year students means you have a very hard responsibility; students of the third year have to pass the final examination. And this is your job. Isn�t it hard enough?
I am really happy today because I am brought to an end of teaching the third year students. Teaching is a hard work, but teaching the third year students is harder. I feel like flying up in the sky. And if you see me, you�ll see my smiling face.



DON�T JUDGE BOOK FROM ITS COVER


Eko Setyono was my student in an Islamic High School. He was known as a badly behaved student. He often opposed his teachers and he often said words that hurt. When it was the time for me to teach him, I had prepared myself to face this boy.
But I am always sure that even a criminal must have a little goodness. Just like a seed that is planted to grow, goodness will also grow and remove the badness inside. I thought Eko just needed an opportunity to change him.
The first day, I was also annoyed with him. Just like other teachers. But I tried my best. I never asked him to change his bad behavior. I let him thought what he did.
And I saw a miracle. Little by little he changed. When he was still a trouble for other teachers, he was kind to me. He didn�t make any nuisance anymore.
After he ended the school, he went to Sumatra for a job. When I asked him why he left Dwi, his girlfriend, he said that his leaving for Sumatra is a proof of his love to Dwi. I was really touched.



WHO WANTS TO BE TEACHER?


When you decide to attend a school, the first thing you have to ask is how are the teachers? Teachers play an important role in education. If the teacher is high in quality, you may be sure that you will get fine education. But if you have low quality teachers, you will not obtain better education. This is the rule.
Unfortunately, fewer students want to be teachers. Becoming a teacher will not guarantee you good prosperity. Arif Rahman said that only low rank students right now who want to be teacher. It�s a bad news. A country is determined by the education. If the education is terrible, you�ll see that the country is poor.
So what can we do crack this problem? The common reason why the smart students don�t want to be teacher is that you�ll not get much money by becoming a teacher. To attract brainy students to become a teacher, teachers must be paid more. Today, teachers are only paid with some money that is not sufficient to carry out their daily needs. But teachers actually have to cover hard obligation. In the future, if we want to have high quality teachers we must give them good salary. This is a rule.



HOLIDAY TIME


Do you think you need holiday? Yes, you need some days to escape from your daily routines. Sure, you are, sometimes, boring with all those things. So you need something�s new that will refresh your mind. You need to stop, for a while, your work and do something else. This will save your energy. And in the next, you�ll be stronger to finish all your works.
I am sure you�ll still remember how Archimedes found his famous theory which is now called as Archimedes law. Where did Archimedes find the theory? Did he found it in the library? Did he found it in the school? Or did he find it while he was thinking hard of the theory? No is the answer. He found it while he was in the bathtub. He found the answer of what he asked for when he was relaxed.
Helmholtz, a scientist, ever said that if somebody thinks hard and continuously, they will undergo three phases. They are incubation, the first. The second is saturation and the last is enlightenment. When somebody was saturated of thinking something, actually they are almost entering the enlightenment door. The last phase often comes when they don�t realize.
So, it is better for you to have holiday after you work with your brain hard and continuously. Indeed, you must pay more money today to travel because of the fuel prices. But there are many cheap and even free places to spend your holiday. You know where they are. Of course you mustn�t spend a lot of money to be relaxed. The most important one is to be relaxed, not what places you visit.




Learning Aid Services� Role


Final examination is aimed to increase the quality of Indonesian Education. We can say this because the minimal standard of pass is increased gradually in every year. The hope is, by increasing the standard, the dream of learning culture will occur. Unfortunately, people are used to living consumptive. They are not ready for this policy. Consumerism has taught them to ignore diligence, because we can get anything easily and fast. This is the time to get anything instantly.
Some people who know this condition change education from something that is everyone�s right to unreached business. Then, they cooperate with some schools. Many school agree. Schools get money from the business. Teachers are helped and the schools will pass all the students.
Learning aid services seems more interesting and more effective than the schools. The tutors are not only smart but also being sympathetic and trendy. Moreover, the tutor also teach some tricks to solve questions. The tricks solve the problems easier and faster. To solve differential problem, for instance. Teachers of schools use some phases to get the answer. But the tricks show a shortcut to the asnwer. Once again, easier and faster.
But, if we think for a moment, the money for shool, the help for teachers and students satisfaction are only short-term advantages. In the long-term, they are disasters. Let�s think about for a minute.
Student who are used to ease, even in studying, will have soft mentality. The question, will they be tough enough to face global hard competition. Countries like Korea, Japan, or Vietnam are famous with their hard-work. Today, they develop into Asian or even the world richest countries. Can our students run after them? No, they can�t if their soft mentality are not changed.
Now, let�s see the disadvantages of instant studying for the brain work. There is �Satori� in Japanese terminology. The word refers to a condition of thinking logically, imaginatively, and intuitively in unison. Brain�s potential is exploited maximally in this orde. The brain works maximally. To reach this high orde of thinking, someone must work hard and love what they do, do it continuously, discipline, diligently and with all the heart. Japan becomes so rich because all the japanese workers work in �Satori� orde.
In America �Satori� is known as flow. Dr. Csikzentmihalyi, a scientist, reported, as written by Daniel Goleman in his Emotional Intelligence, his experiment on flow : of 200 artists who had passed from art school, Csikzentmihalyi found that they who became serious painters were those who enjoyed painting when they were students. Those who attended art school because of dream of popularity and wealthy, most of them left the art after graduation. Creativity depends on heart and mind totality.
The scientist�s experiment above shows us that the best result of learning achieved when learning has turned into habit, not learning for passing the examination. So, in the long-term, no advantages from instant learning as learning aid services offer. For that reason, the process of education in the schools must be changed soon. So the schools stay in creating and developing learning culture. The process of learning must be arranged well so every students can enjoy. Besides that, creating emotional relationship between the schools and the students, making good relationship between teachers and students, and eliminating bullying must be done. An experiment showed that students learn well if the lesson is satisfying, chalanging, friendly and the students have opportunity to decide.
Teachers should move from their comfort zone. If they still enjoy teaching with old-fashioned way like threatening, insulting, or even beating to discipline their students, it�s time for them to teach sympathetically, to understand the students, to listen and to respect them. If the teachers still teach by using the old technic, it is time for teachers to adopt new effective technic. We must remember that something can be useless right now although it was proven effective in the past. Indeed, we need an extra power to leave our comfort zone, but we hope it can bring teachers� prestige back.



Consumtive Students and Our Televisions


I was stupefied by a dialogue I heard between two students who were coincidentally in the same bus with me on the way to school. One of the two asked about a homework whether it had been done or not. The question was answered with the same words which are usually said by a young sinetron artist; �Mana sempat gitu loh!�. �Wah, rese lu. Disetrap si Trondolo tau rasa lu�.
I think it�s not a big deal if gitu loh and rese lu are said by those who live in an area that use the words communally. But if the words are said by those who usually use javanese as daily language, if they usually say �aku� and �kowe� and replace those with �Gue� and �Elo� because the last two are more good-listened, we must be wary. Further, I am sure that �Trondolo� is the teacher who gave the homework.
TV, THE GREAT RULER
My experience above shows us how effective a television to transform values. We do not need to retell about Agus who is smacked down by his classmates. We do not need to retell about Tuti who is afraid to go to the restroom by herself at night because she is worry of Suster Ngesot�s appearance. We do not need to talk anymore about Mr. Sapto who is despised by his students that are inspired by High School students who insulted their clumsy teacher in an evening sinetron, at some hours that they actually have to study. We do not need to discuss those anymore to show how bad the impact of this living room electrical square box. Because, if something has been known bad, everyone will be aware of it. But who realized the dangerous of watching an artist who uses anti-aging lotion. From a singer who makes a calling by using an eleven million rupiah three G handphone. Or a handsome celebrity who rides a fast excellent motorcycle?.
Actually, what I have written later is same or even more dangerous than the negative impacts written on newspapers. I say so because a few finds it as a danger. A threat which destroys wider and longer. It�s true. How if the moral degradation is not realized as a threat but as a common impact of modernity; if someone acts different with the other �modern� people then they will be called as old-fashioned. If one doesn�t use a product, for instance, he or she is the other. Someone outside of us. Have you ever about an SMP students who wanted to finish his life just because her parents had no money to pay the study tour fee? It is only a negative impact of �we� and � the other� paradigm. This SMP student felt disappointed because she was not one of �we� ( her schoolmates ). So she was the other.
Now let�s muse two true stories I had seen. We can call her as Ria, an SMP student. She admitted to steal a famous hand and body lotion, it�s her teacher�s, when she was in her teacher�s house. She knew that her teacher uses the hand and body like she always watches on T.V. advertisement. She really wanted the product, but she had no money. Moreover, the student stole not only the hand and body but also her teacher�s eye glasses. She thought, she would be more beautiful if she wore the glasses. Something stupid because her eyes are normal.
This is the second, Roni ( it�s not the real name ), a handsome boy in his school, didn�t want to go to school because his father couldn�t buy him a motorcycle. He was shy because his friends went to the school by their own motorcycle but he didn�t.
But, once again I say, a few people realize that this begins when they let television teach their children�s way of thinking. Again and again, simple persuasions, without our awareness, saved in our long-term memory and change to be a desire to imitate or to consume.
HYPER-REALITY
A resign television reporter said why he resigned from his job. He felt that his job was incompatible with his inner-self. He found that television�s contribution in educating people is not significant. Television often broadcasts a program which they call it as �public need�. If sexuality, mystic, and violence are something that �people need�, determined from the high or the low rate, those will be broadcasted in big portions. And it is getting worse, when a television broadcast succed in broadcasting a programme, other television broadcasts will create the same programme. But why? The reason is a high-rated programme will attract a lot of advertisements. Rate is everything to television broadcasts.
The threat begins. For some hours our brains are fulfiled with mystical stories, pornografy, and violence, without our awareness. The programme will change our way of thinking. During the programmes, we also see commercial breaks that fill us with images, persuade us to buy something which is not really necessary.
Is it true that what we consume today is not really necessary? Please think about this condition: for most Javanese, especially in the past, beauty is a woman with proportional body, big breast, and big hip. But nowadays, it is different. Anywhere in the world, beauty is kutilang darat ( kurus, tinggi, langsing dan dadanya rata or thin, tall, slim, and flat breast ). No wonder, if you read on a newspaper, there was an American girl who was dead because of extreme diet. She got no slim body but anorexia which causes her death.
From now on, women are made comfortless with their condition. Yesterday, they were comfortless with their hair style. Because the nice hair is the straight one, they make their hair straight. Before this hair style occurs, the nice hair is the curly one. So maybe you still remember how busy a woman was to make her hair curly.
Today, they want white skin. Hundreds thousand rupiah spent to bring it into reality. Perhaps, tomorrow they will be more comfortless with their fingers, their short neck, narrow mouth, or the others. Then, more thousand rupiah will be spent. The producer will be richer because of those women�s comfortless. Remember, sometimes a half of our students in the class are girl. They are the next target or they have been.
WHAT CAN WE DO?
Audio-Visual media is much more effective than a media with audio of visual effect only. Reading an advertisement will influence you like when you watch and listen to it. By the medias, we are influenced to consume again and again. Consuming something that actually is not a need. For producer it is: we sell what we want to sell, not what the costumers want to buy. But for costumers, there is no choice. And bad thingsI mentioned above happen.
But don�t sell your television so soon. Or throw it into rubbish box. Because the most important is to change ourselves. For these days, the best thing we can do is to turn off our television for some hours. Until it changes into real educating media. Are you brave enough?



Saturday, August 16, 2008

KEMERDEKAAN BAGI�..


Kemerdekaan bagi para pejuang kita jaman dahulu adalah tujuan suci yang harus diperjuangkan dengan mandi keringat, berkubang air mata, bersimbah darah. Kemerdekaan bagi mereka adalah ladang dunia untuk mendapatkan surga. Kemerdekaan bagi mereka adalah sebuah impian tentang anak cucu yang hidup lebih layak, lebih bahagia tanpa merasakan pedih perihnya menjadi orang jajahan. Karena itulah meski bermandi keringat, mereka tidak mengeluh. Meski kering air mata, mereka tidak menyerah. Meski berlumur darah mereka tidak menjadi cengeng. Malah, yang terjadi, keringat menguatkan otot, air mata menguatkan tekad, darah menyuburkan semangat. Di tiap jengkal tanah yang kita pijak, terekam jejak heroik mereka.
Kemerdekaan bagi para koruptor adalah bagaimana agar kekayaan mereka terus bertumpuk entah apapun caranya. Kemerdekaan bagi mereka adalah jika mereka dapat membeli apapun bagi diri mereka dan keluarga mereka. Kemerdekaan bagi mereka adalah jika mereka bisa membeli hakim dan pengacara. Bahkan jika seandainya bisa, mereka akan membeli kematian agar dapat menaklukkannya dan menyimpannya di bawah kolong tempat tidur dalam keadaan terikat erat agar ia tidak bisa menghampiri mereka. Karena itulah mereka mau kehilangan rasa malu. Untuk itulah mereka tidak merasa rugi karena bangkrut harga diri. Untuk alasan itulah mereka membunuh nurani mereka sendiri.
Kemerdekaan bagi anak � anak berandal adalah jika tidak ada lagi norma. Merdeka adalah jika mereka mampu berkiblat ke barat. Menyemir pirang rambut mereka yang hitam, menggantungkan anting di tiap sudut tubuh. Kemerdekaan bagi mereka adalah jika sekolah adalah rumah untuk bersenang � senang. Kemerdekaan adalah tiadanya teguran saat mereka bergaul kelewat batas. Kemerdekaan adalah jika mabuk, madat, main perempuan diperkenankan.
Kemerdekaan bagi penikmat adalah jika mereka mampu membeli alat � alat canggih nan mahal. Adalah jika mereka mampu merawat tubuh agar putih mengkilap. Kemerdekaan adalah kepemilikan kuda berbensin yang tiada dua. Merdeka berarti apapun yang ada di benuanya orang � orang maju, ada dan mereka nikmati di tanah yang masih berserakan manusia yang hanya mampu makan sehari sekali.
Masih ada kemerdekaan bagi mereka � mereka yang lain. Tapi tentu perlu berjuta � juta halaman untuk menuliskannya.
Saya sendiri. Saya sendiri tidak bisa menuliskan apa kemerdekaan bagi saya. Khawatir jika tidak mampu menulis jujur. Mungkin anda tidak perlu tahu apa makna kemerdekaan itu bagi saya. Saya tidak gampang berbagi. Namun, mungkin anda lain. Apa arti kemerdekaan bagi anda?
Apakah anda menginginkan kemerdekaan sebagaimana para koruptor? Sebagaimana berandal? Sebagaimana penikmat sejati?
Kemarin sore saya bertemu seorang tua. Pengusaha kaya. Tapi tak nampak kekayaan itu padanya. Ia kelihatan biasa saja. Seperti orang � orang pada umumnya. Hanya, ringan ia berbagi. Ringan ia memberi. Sayang saya lupa bertanya kepadanya tentang makna kemerdekaan ini baginya.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik belum merdeka di sini.

Friday, August 15, 2008

PADA AKHIRNYA


Pada akhirnya Pemerintah berjanji akan menaikkan anggaran pendidikan sebesar 20 %. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa angka dua puluh persen itu setara dengan Rp 224 triliun. Meskipun baru janji, kita pantas bergembira. Karena paling tidak dengan janji itu pemerintah mempunyai itikad baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia yang sudah lama terpuruk.
Tapi janji pemerintah diatas perlu kita cermati. Jika kita menilik ke belakang, pemerintah juga pernah mengatakan bahwa anggaran pendidikan telah dinaikkan hingga mencapai angka 17,40 persen. Nyatanya, gaji guru termasuk dalam angka tujuh belas koma empat puluh persen itu. Sehingga jika dikurangi gaji guru, sebenarnya anggaran pendidikan hanya kurang dari 12 persen. Kita berharap hal seperti itu tidak akan terulang lagi di tahun mendatang.
Jika kita melihat upaya pemerintah untuk menyediakan buku elektronik beberapa waktu lalu, kita berharap bahwa pendistribusian anggaran pendidikan itu tepat sasaran. Penyediaan anggaran sebesar itu mestinya juga dibarengi dengan birokrasi yang cermat. Diperlukan kerja ekstra keras dari aparat birokrasi sehingga anggaran pendidikan yang telah dinaikkan itu akan benar � benar membawa manfaat bagi kemajuan pendidikan. Sampai beberapa waktu terakhir kita masih saja mendengar tentang gaji guru Bantu yang belum juga dibayarkan.
Yang juga perlu dicermati adalah kemungkinan bocornya anggaran. Di negeri kita, korupsi bukan sesuatu yang gampang diberantas. Upaya penindakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi terbukti tidak membuat koruptor menghentikan perbuatan amoralnya. Terlebih setelah kita tahu bahwa aparat hukum pun begitu gampangnya disuap agar memandulkan upaya hukum atas pelaku korupsi.
Ada yang mengatakan bahwa janji pemerintah itu hanya merupakan salah satu bentuk kampanye presiden untuk menghadapi pemilu 2009. Kita tidak perlu menduga � duga. Mudah � mudahan pemerintah benar � benar berniat baik. Sebab, masih banyak siswa � siswi kita yang belajar di dalam gedung sekolah yang hampir ambruk. Masih banyak sarana � sarana belajar yang belum terpenuhi. Mudah � mudahan tahun depan merupakan momentum untuk bangkitnya pendidikan Indonesia.

Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, PENDIDIKAN di sini.

APA YANG BISA KITA LAKUKAN?


Berbagai macam persoalan mendera masyarakat kita. Saat ini kita melihat banyak berita tentang masyarakat yang kesulitan dalam mendapatkan air bersih. Masalah yang umum terjadi ketika tiba masanya musim kemarau. Dimana � mana, air menjadi permasalahan yang cukup serius. Di musim kemarau, tidak ada air, di musim penghujan, banjir bandang yang membahayakan.
Sampai sekarang, bahan bakar minyak pasti tetap menjadi permasalahan sehari � hari setiap ibu rumah tangga. Minyak tanah sulit sekali didapat. Jika ada pun, pasti jumlahnya cukup terbatas. Bantuan tabung gas dan kompornya dari pemerintah pun menjadi masalah. Banyak yang takut menggunakan kompor gas setelah ada beberapa tabung yang meledak ketika dipakai. Terakhir, giliran gas elpiji yang langka.
Sebentar lagi bulan puasa tiba. Setelahnya lebaran. Harga � harga kebutuhan pokok pasti segera melambung tinggi. Permasalahan akan semakin bertumpuk � tumpuk.
Dengan keadaan sekitar kita yang sedemikian itu, apa yang bisa kita lakukan?
Saya teringat Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Banglades. Sekembali dari kuliah doktoral di Amerika, dia mendapati masyarakat di sekelilingnya yang terlilit kemiskinan. Diamatinya mereka. Dia menemukan bahwa ternyata orang � orang itu trampil dan tidak malas. Jawaban mengapa mereka tetap saja berada dalam kemiskinan adalah karena ketiadaan modal. Yunus tergerak untuk mendirikan bank yang akan memberi pinjaman modal kepada orang � orang miskin itu. Usahanya berhasil dan dia mendapat banyak pujian dari orang � orang yang ada di seluruh dunia.
Meneladani Yunus, saat kita melihat langkanya minyak tanah dan gas elpiji, apa yang bisa kita lakukan? Bisakah kita membuat kompor minyak tanah yang hemat sehingga ibu � ibu juga bisa menghemat pengeluaran mereka? Atau, apakah ada alternatif lain yang bisa kita buat sebagai pengganti kompor minyak?
Permasalahan yang ada di masyarakat membutuhkan solusi yang sederhana namun bisa dimanfaatkan. Kita berkewajiban untuk mencari solusi itu.
Dan untuk mendapatkan solusi atas berbagai permasalahan itu, kita perlu tahu dan peduli dengan keadaan sosial dimana kita tinggal. Bukan malah menarik diri dari pergaulan sosial.

Thursday, August 14, 2008

BELUM MERDEKA


Hari minggu yang akan datang, Indonesia akan merayakan kemerdekaannya yang ke 63. Seperti umumnya perayaan kemerdekaan, banyak acara digelar untuk memeriahkan peringatan kemerdekaan itu. Mulai dari anak � anak sampai orang tua terlibat dalam perlombaan � perlombaan. Yang sering digelar di berbagai tempat; lomba makan kerupuk, tarik tambang dan pertandingan sepak bola jago kapuk, menyedot perhatian masyarakat banyak. Dan yang paling meriah adalah Panjat Pinang.
Di atas pohon pinang yang dilumuri minyak pelumas, sehingga sedemikian licin untuk dipanjat, tergantung berbagai macam barang yang akan menjadi milik peserta lomba jika saja mereka mampu menurunkannya. Polah tingkah peserta dalam memanjat pohon yang licin itulah yang menjadikan lomba ini sedemikian meriah. Minyak pelumas bekas yang dipakai untuk melumuri pohon pinang, berwarna hitam dan kotor, membuat lucu para peserta. Gelak tawa penonton akan berubah sorak sorai ketika pada akhirnya hadiah dapat diturunkan.
Namun dibalik suka ria perlombaan panjat pinang, bisa jadi ada yang luput dari perhatian kita semua. Biasanya, perlombaan yang meriah ini ditonton juga oleh kaum pejabat, tokoh masyarakat, orang � orang kaya yang duduk di bawah tenda yang teduh, yang disediakan khusus untuk mereka. Sedang rakyat biasa menonton di bawah terik matahari, karena biasanya lomba panjat pinang diselenggarakan pada saat siang hari.
Para penonton di bawah tenda tertawa terbahak melihat peserta yang kerepotan memanjat. Bahkan ada beberapa kepala dari peserta yang diinjak - injak oleh rekan mereka yang lain agar dapat mencapai puncak. Dengusan nafas, keringat yang bercucuran, rasa kesakitan tubuh peserta untuk bisa mendapatkan hadiah yang tidak seberapa, menjadi bahan tontonan dan tertawaan para pejabat, tokoh masyarakat dan orang � orang kaya. Rakyat jelata yang berlepotan minyak pelumas menjadi bahan hiburan orang � orang kaya. Apakah ini benar?
Saya rasa, permainan panjat pinang merupakan tinggalan penjajah Belanda yang feodal. Penjajah menjadikan kesulitan hidup dari bangsa yang dijajahnya sebagai hiburan bagi dirinya. Selain itu, keadaan kaum terjajah yang miskin dan hidup sulit, membantu menegaskan eksistensi dirinya sebagai kaum yang lebih. Karena merasa lebih itulah mereka merasa berhak menjadikan penderitaan orang lain sebagai bahan lelucon.
Mungkin perlombaan ini tidak perlu kita selenggarakan lagi. Jika dikatakan bahwa lomba ini bertujuan untuk memeriahkan, kita katakan bahwa masih banyak berbagai perlombaan lain yang bisa dijadikan untuk memeriahkan acara perayaan. Permainan � permainan olah raga seperti sepak bola atau bola voli misalnya, tentu lebih bermartabat dibandingkan dengan Panjat Pinang.
Panjat Pinang merepresentasikan kesenjangan antara miskin dan kaya. Mengeksploitasi kemiskinan sebagai hiburan. Mengkotak � kotakkan rakyat sebagai golongan priyayi dan non priyayi. Meng-kasta-kan masyarakat. Memang nampaknya hanya sekedar permainan yang memeriahkan, namun dampak sosialnya perlu kita perhatikan.

Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, wajib belajar di sini.

Wednesday, August 13, 2008

BAHASA DAERAH KITA


Sekolah saya mendapatkan masalah yang cukup serius. Murid � murid di sekolah kami secara berangsur � angsur mulai kehilangan sopan santunnya. Kami yang ada di Jawa, biasa biasa menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi.
Bahasa Jawa mempunyai beberapa tingkatan yang tingkatan � tingkatan itu dipakai sesuai dengan kondisi dan situasi yang berlaku saat itu. Jika saya berbicara dengan teman sebaya yang akrab, saya akan memakai bahasa Jawa ngoko. Namun jika saya berbicara dengan seseorang yang lebih tua atau mempunyai kedudukan terhormat, maka saya akan menggunakan bahasa Jawa krama.

Bahasa Jawa krama digunakan untuk menghormati orang yang diajak bicara. Ini adalah kearifan lokal yang harus selalu dilestarikan. Selebihnya, ini merupakan identitas. Sayangnya, entah karena penetrasi budaya pop yang ditiru anak dari televisi, atau mungkin juga karena kurangnya perhatian orang tua untuk mengajari anak � anak mereka bahasa Jawa, anak � anak di sekolah kami tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa Jawa krama ketika mereka berbicara dengan guru.

Jika anak � anak itu dibiarkan menggunakan bahasa Jawa ngoko, dalam konteks budaya Jawa, ini berarti membiarkan anak � anak muda itu menginjak � injak kehormatan guru. Untuk itulah sebagai solusi sementara, anak � anak itu diminta untuk menggunakan bahasa Indonesia ketika mereka berbicara kepada gurunya.
Bahasa Jawa, juga bahasa � bahasa daerah lainnya, merupakan kekayaan budaya kita yang perlu kita jaga. Namun, melihat fenomena seperti yang terjadi di sekolah saya, sepertinya kedepan akan semakin sulit menjaga kelanggengan bahasa Jawa. Bahasa Jawa tidak memiliki daya saing yang kuat. Setiap hari, anak � anak kita bergelut dengan bahasa nasional, bahasa Indonesia. Bahasa Jawa dinomor duakan.

Sangat disayangkan jika di masa depan bahasa Jawa sampai punah. Karena itu, kelestarian bahasa Jawa penting untuk diupayakan. Walau mungkin di sebuah keluarga Jawa menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi, kiranya bijak untuk juga menyertakan bahasa Jawa.
Jangan sampai di masa mendatang, anak cucu kita hanya akan mendapati bahasa Jawa sebagaimana mereka mendapati cerita tentang Dinosourus yang telah berjuta tahun punah.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, bahasa di sini.

Tuesday, August 12, 2008

MENYOAL MALNUTRISI


Fisik kita adalah modal kita. Tanpa fisik yang sehat, kita tidak akan dapat bekerja optimal. Untuk itulah kita harus memperhatikan asupan nutrisi pada diri kita. Bahkan, nutrisi yang baik tidak hanya menguatkan fisik tapi juga akan memaksimalkan kinerja otak.
Jika kita berbicara mengenai pendidikan bermutu, gizi tercakup di dalamnya.

Ketika Prof Dr Ir Ali Khomsan MS, ahli gizi anak dari Institut Pertanian Bogor, menyatakan bahwa
ada 4 juta anak Indonesia yang kekurangan gizi, bahkan anak sekian itu terancam menderita gizi buruk, kita prihatin. Anak � anak di hari ini adalah penerus � penerus di masa depan. Jika anak � anak kita sedemikian buruk keadaan gizinya, kita khawatir masa depan bangsa ini tidak akan beranjak menjadi lebih baik daripada masa � masa sekarang.

4 juta bukan jumlah yang sedikit. Jika keadaan seperti ini tidak segera dibenahi, bukan mustahil jumlah itu akan terus bertambah. Dan jika terus bertambah,
kita tidak tahu lagi kepada siapa masa depan bangsa kita tercinta kita titipkan.



Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, pembelajaran di sini.

Monday, August 11, 2008

BELAJAR MENJADI BAWAHAN


Hari ini saya melihat sebuah pemandangan yang luar biasa, pemandangan yang bisa dikatakan mewakili mental dari keseluruhan bangsa kita. Mental yang tidak baik tepatnya. Mental priyayi yang inginnya selalu memerintah dan tidak ingin diperintah. Mental untuk selalu menjadi atasan dan tidak mau menjadi bawahan.
Sebuah mental yang sebenarnya diwariskan oleh feodalisme Belanda yang telah menjajah kita selama tiga setengah abad lamanya. .

Agustus adalah bulan yang sibuk bagi rata � rata sekolah. Di bulan ini mereka menyiapkan berbagai hal untuk memeriahkan acara peringatan ulang tahun kemerdekaan. Tak terkecuali sekolah saya. Panitia dibentuk untuk bertanggung jawab atas berjalannya kegiatan. Tapi, inilah yang terjadi.
Saya bersama rekan � rekan guru yang lain masuk dalam panitia sebagai pendiri stand. Biasanya, stand didirikan di lapangan yang biasa digunakan untuk memajang berbagai hasil karya siswa. Mulai dari SD sampai SMA, semua mendirikan stand dengan tujuan ini. Karena ini sebuah pekerjaan yang besar, tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada siswa. Mereka diminta membantu saja.
Tampilan stand membawa nama sekolah. Untuk itu, stand harus dibuat semegah dan sebaik mungkin. Nah, disinilah peran guru. Mereka harus bekerja sama untuk bisa membuat stand yang diharapkan itu. Namun, disinilah mental priyayi yang saya sebut di atas terlihat. Di sekolah dimana saya mengajar, ternyata berjumlah cukup banyak.
Mereka, para pemilik mental priyayi ini, umumnya hanya mondar � mandir melihat, memberi perintah ini itu, mengoreksi dan bahkan menyalahkan pekerjaan yang dilakukan oleh rekannya. Sedang mereka sendiri tidak pernah memegang gergaji, tidak mengayunkan palu, tidak juga mengecat.
Mereka tidak mau mengotori tangan mereka dengan bekerja. Mereka tidak membasahi tubuh mereka dengan keringat untuk bekerja. Menurut pemikiran mereka, mereka sudah bekerja hanya dengan mondar � mandir. .

Bangsa kita tidak akan besar karena orang � orang bermental priyayi. Bangsa kita akan besar hanya dengan orang yang bermental pekerja. Yang mau bekerja keras. Saya ingat tulisan Akio Morita tentang perusahaan elektroniknya, SONY. Di sebuah bagian dalam bukunya ia menyebut tentang anaknya yang bekerja siang malam, nyaris tanpa tidur ketika mengerjakan sebuah proyek perusahaan. .

Hanya dengan bermodalkan mental priyayi, kita pasti tidak akan memiliki perusahaan sebesar SONY.
Hanya dengan memiliki orang � orang bermental priyayi, akan banyak orang yang bangga dengan mobil mewah mereka, bangga dengan telepon selular mereka yang canggih meskipun sampai kapanpun mereka tidak mampu membuat produk serupa.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, mental pekerja di sini.

Sunday, August 10, 2008

BERHENTI MENGELUH


Mungkin ada yang lelah ketika lagi � lagi harus membahas pendidikan di negeri kita. Karena itu banyak yang kemudian bersikap masa bodoh dengan keadaan. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Pasif.
Namun, sejarah mencatat serombongan orang yang justru bangkit setelah didera berbagai keterbatasan. Keterbatasan bukannya menjadi penghalang, tetapi malahan menjadikan mereka kuat dan ulet. Saya membaca riwayat ulama � ulama Islam dahulu dalam menuntut ilmu agama. Banyak dari mereka yang sampai memakan daun - daunan karena tidak adanya uang untuk membeli makanan karena kemiskinan yang mereka derita. Tetapi akhir mereka sangat baik. Sejarah mencatat mereka sebagai ilmuwan yang mumpuni tidak hanya dalam satu disiplin ilmu tapi dalam multi-disiplin.
Di zaman Agus Salim dulu, fasilitas tentu tak semudah sekarang. Tapi siapa yang tak kenal Agus Salim? Intelektual hebat dengan karakter yang kuat. Padahal selama hidupnya, Agus Salim miskin. Sampai � sampai, keterbatasan yang ada pada Agus Salim membuat seorang tokoh Belanda berkomentar bahwa satu � satunya kekurangan yang dimiliki oleh Agus Salim adalah kemiskinan. Seolah � olah, tokoh Belanda itu ingin mengatakan bahwa Agus Salim akan menjadi manusia sempurna jika ia bukan orang yang miskin.
Agus Salim hanya sebuah contoh. Dari berbagai belahan dunia dalam kurun masa yang berbeda banyak terdapat contoh � contoh serupa.
Membaca riwayat hidup mereka, saya berkesimpulan bahwa yang menyebabkan mereka menjadi tokoh besar adalah kegairahan. Gairah mereka sangat tinggi untuk bisa berbuat sesuatu bagi hidup mereka sendiri dan juga hidup orang lain. Itulah sebabnya mereka selalu dapat membaca peluang di tiap halangan yang mereka temui.
Mendidik manusia, adalah juga mendidik diri kita sendiri. Kebahagiaan yang kita rasakan karena keberhasilan yang didapat oleh orang yang pernah kita didik tidak akan terbayarkan dengan apapun juga. Untuk itu, kita sepertinya harus berhenti mengeluh dan mengumpulkan tekad untuk berbuat lebih banyak lagi bagi orang lain. Meskipun keterbatasan mengepung kita.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, keterbatasan di sini.

Saturday, August 9, 2008

MEMANFAATKAN INTERNET


Delapan tahun lalu, saya sering keluar masuk satu � satunya warnet di kota saya. Saya harus mengeluarkan Rp. 12.000,- untuk bisa berselancar di dunia maya selama satu jam. Sangat � sangat mahal. Apalagi waktu itu yang ada baru Telkomnet Instant, aksesnya begitu lama. Saya ingat saat itu saya harus mengupah teman saya untuk mengajari saya browsing, chatting dan membuat e-mail di Yahoo!. Dua puluh lima ribu rupiah harus saya keluarkan. Ketika itu, internet belum dikenal luas. Orang � orang tertentu saja yang tahu. Karena itulah saya merasa bangga bisa mengenalnya sementara banyak yang belum.
Keadaan berubah sama sekali kini. Warung � warung internet bertebaran di mana � mana. Siapa yang ingin internetan cukup mengeluarkan Rp. 3.000,- saja. Akses lumayan cepat. Paling tidak jika dibandingkan delapan tahun lalu. Anak � anak TK pun kini banyak yang sudah mengenal dan memanfaatkan internet. Yang berumuran lebih tua, lebih keranjingan lagi.
Saya senang dengan perkembangan ini. Anak � anak kita akan menjadi lebih cerdas tentunya karena mereka bisa mengakses berbagai macam informasi dalam waktu yang relatif cepat. Bangsa yang maju adalah bangsa yang terdepan dalam teknologi. Jika anak � anak di desa seperti tempat tinggal saya sudah mengenal internet sejak usia sedemikian dini, berarti kita kini tengah berada di depan salah satu pintu teknologi. Di masa mendatang, mereka akan menjadi penguasa � penguasa teknologi. Itu persangkaan saya.
Anak � anak calon penguasa teknologi setiap hari berkunjung ke warnet. Jikalau banyak tersedia hotspot dan harga laptop terjangkau, pastilah mereka berbekal laptop kemana � mana sebagaimana mereka mengantongi telepon genggam.
Suatu saat, saya masuk ke sebuah warnet yang hampir penuh seluruhnya dengan anak � anak muda. Rupanya mereka teman. Mereka saling bicara meskipun berada di bilik yang berbeda. Ternyata mereka bermain game online. Seru sekali nampaknya.
Di saat lain saya tahu, bahwa anak � anak muda itu gemar sekali chatting. Betah hingga berjam � jam. Mereka juga mengakses Friendster. Memajang foto � foto mereka di sana.
Saya bertanya kepada penjaga beberapa warnet tentang pengunjung. Pengunjung rata � rata anak � anak usia SMP dan SMA. Chatting, mengakses Friendster, bermain game, mengakses YouTube, atau download lagu � lagu gratisan, itu yang dilakukan.
Saya ralat persangkaan saya di atas. Saya kira kita tidak akan menjadi penguasa teknologi karena chatting. Kita tentu tidak akan menjadi bangsa yang besar hanya karena foto anak � anak kita terpampang di Friendster. Ternyata, pemanfaatan kita atas internet hanya sebatas untuk senang � senang saja. Kita pengguna. Hanya pengguna.
Di sebuah kawasan di Jakarta Selatan, Suryo Nugroho dan teman � temannya mendirikan Rumahwarna, illustrations comics and design. Mereka menggambar komik pesanan penerbit komik di Amerika dan Kanada. Mereka melakukan transaksi melalui internet. Orang � orang seperti Suryo Nugroho bukan sebatas pengguna internet. Di tangan orang seperti inilah kita berharap kemajuan bangsa. Sayang, sepertinya jumlah mereka di negeri kita belum banyak.

Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, ngeblog di sini.

Friday, August 8, 2008

WAJAH PENDIDIKAN KITA


Anak � anak kita yang memiliki antusiasme belajar yang tinggi menyejukkan hati dan menawarkan harapan masa depan bangsa yang lebih baik. Kita bisa melihat itu di Asian Science Camp di Bali. Kita juga bisa melihat harapan itu dari Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI. Semoga kehidupan anak cucu kita nanti akan berkali lipat lebih baik daripada kehidupan kita saat ini. Semoga dengan adanya mereka, kita menjadi bangsa yang diperhitungkan dunia.
Hari ini, saya membaca sebuah tragedi. Itulah Sawiyah dan anak bungsunya. Kamis kemarin, ibu dan anak itu ditemukan mati mengambang di sebuah lubang bekas galian. Rabu sore, mereka pergi untuk mencari kayu bakar karena minyak tanah tidak terbeli. Mencari kayu bakar adalah upaya Sawiyah agar bisa menghemat pendapatan suaminya yang hanya Rp. 20.000,- sampai Rp. 30.000,- saja sehingga bisa menyekolahkan keempat anak � anaknya. Tapi begitulah akhir hidupnya.
Hari ini saya membaca tentang seorang professor yang bersyukur meskipun kemana � mana hanya naik motor ataupun bis kota. Sang professor bersyukur karena meskipun begitu beliau memiliki rumah sendiri. Menurutnya, banyak professor � professor di negeri ini yang tidak bisa memiliki rumahnya sendiri.
Kemarin saya membaca tentang guru Bantu yang belum juga menerima gaji. Di tengah kondisi harga � harga yang demikian tinggi, mereka tidak menerima gaji. Padahal mengajar harus terus mereka lakukan. Ada saja alasan mengapa mereka sampai tidak mendapatkan gaji.
Kemarin saya membaca tentang betapa mahal biaya yang harus ditanggung orang tua untuk menyekolahkan anak � anak mereka. Buku pelajaran tetap menjadi masalah klasik yang terus menerus berulang.
Kemarin saya membaca tentang sekian � sekian anak � anak kita yang tidak melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang SMA. Padahal sebentar lagi akan dicanangkan Wajib Belajar 12 Tahun.
Saat kita membaca astronom Johny Setiawan, tentang anak � anak kita yang menjuarai olimpiade fisika, tentang anak � anak kita yang pandai menulis buku dan mendapatkan penghasilan darinya, tentang anak � anak kita yang menemukan berbagai macam inovasi, kita terhibur harapan tentang suatu masa keemasan kita di masa mendatang. Tapi membaca berita � berita yang saya tulis ulang di beberapa paragraf di atas, betapa jauhnya masa keemasan itu.

Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, sekolah di sini.




Wednesday, August 6, 2008

SAYA DAN DONGENG


Saya beruntung karena memiliki nenek yang senang mendongeng. Dulu, di waktu � waktu menjelang tidur, nenek selalu mendongengi saya. Beliau tiduran di sisi kasur, dan saya, berada di sisi lainnya, juga tiduran sambil memeluknya dan menyimak dongengannya. Nenek mempunyai perbendaharaan dongeng yang banyak. Tapi saya paling menyukai dongeng Si Kancil. Maka, sering saya meminta nenek mengisahkan dongeng paling populer ini. Meski mendengar berulang � ulang, saya tidak jadi jemu karenanya.
Kelihaian nenek dalam mendongeng saya rasakan ketika dongeng sudah hampir berakhir sedang saya belum tertidur. Beliau kemudian mengaitkan dongeng yang belum selesai itu dengan dongengan lain seolah cerita bersambung. Biasanya, sebelum dongeng ke dua ini habis saya sudah tertidur. Tapi, tak jarang juga nenek menamatkan dongengannya walaupun saya belum tidur. Mungkin beliau kelelahan. Dari dongeng yang tamat itulah saya mengenal kalimat gedhang kepok kari setugel, cunthel, pantun yang menandakan bahwa dongeng telah selesai. Kalimat itu, bagi saya, sama populernya dengan kalimat yang biasa digunakan nenek untuk memulai ceritanya; dhek jaman biyen, ning alas gung liwang liwung (Pada jaman dahulu kala, di hutan belantara).
Nenek sudah lama berpulang. Tapi, dongengannya dahulu membuat saya mampu untuk juga mendongengi anak � anak saya. Selain itu, saya kira, dongengan nenek jugalah yang membuat saya gemar membaca sejak saya bisa melakukannya. Dongengan nenek sebegitu menariknya sehingga mendorong saya untuk mendapatkan dongengan yang lebih kompleks ketika saya dewasa. Dan itu hanya bisa saya dapatkan dari buku.
Sayang, dongeng kini nampaknya tidak lagi populer di mata anak � anak kita. Maksud saya dongeng yang dituturkan. Film � film kartun di Televisi juga dongeng. Tapi pasti dampak positifnya tidak sehebat dongeng tutur. Menurut banyak penelitian, melihat televisi hanya akan membuat otak menjadi pasif. Bahkan saat dongengan nenek saya dahulu dibuat film, misalnya, pasti tidak akan membuat otak bekerja aktif. Saat nenek mendongeng tentang kancil yang melompat � lompat di atas punggung buaya, saya berimajinasi tentang sebuah binatang kecil yang lemah tapi sangat cerdas, menginjak � injak binatang paling menyeramkan. Imajinasi seperti ini tidak akan terjadi jika kita melihatnya dalam bentuk film.
Namun, sebaik apapun dampak dari sebuah dongeng bagi anak � anak kita, dongeng tetap kalah populer dibandingkan film di televisi. Orang tua yang semakin sibuk tidak lagi mempunyai kesempatan untuk mendongeng bagi anak � anaknya. Apalagi, pengaruh televisi memang sudah sedemikian hebatnya. Sampai � sampai televisilah yang �mengatur� jadwal harian kita.
Banyak orang tua yang malah senang jika anak � anak mereka duduk manis di depan televisi. Menurut persangkaan mereka, menonton televisi lebih aman daripada anak � anak mereka bermain di luar rumah. Pandangan yang salah besar sehingga membuat anak � anak semakin akrab dan sulit dipisahkan dari televisi.
Nampaknya, kita harus menghidupkan lagi tradisi mendongeng bagi anak � anak kita. Dan langkah awalnya adalah dengan membuat televisi menjadi tidak menarik di mata mereka. Sepertinya, jika televisi tidak menarik lagi di mata kita, TV juga tidak akan menarik di mata anak � anak kita.

Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, televisi di sini.

Untuk membaca artikel saya sebelum ini, silahkan klik PERGURUAN TINGGI BOHONG - BOHONGAN di sini.

Tuesday, August 5, 2008

PERGURUAN TINGGI BOHONG � BOHONGAN


Kita geli dengan berita tentang beberapa politisi yang ketahuan ijazah perguruan tinggi yang diklaimnya ternyata palsu. Berita seperti ini memang bukan barang baru. Sejak dulu kejadian seperti itu sudah terjadi dan masyarakat luas juga sudah tahu. Bahkan Iwan Fals pun merasa perlu untuk menyindirnya melalui lagunya �Kawanku Punya Teman, Temannya Punya Kawan�. Seperti kita saat ini, Iwan, saat itu, pun pasti tersenyum dalam hati melihat orang � orang yang berbangga � bangga dengan selembar ijazah perguruan tinggi yang sebenarnya aspal
Dalam lagunya itu, Iwan menunjukkan kepada kita bahwa orang akan berbuat apa saja untuk meningkatkan prestisenya di mata orang lain. Termasuk dengan membeli ijazah. Fenomena yang masih saja terjadi hingga masa sekarang ini menunjukkan bahwa budaya belajar kita masih sangat rendah. Orang berlomba � lomba meraih pendidikan tinggi hanya untuk gengsi. Bukan untuk mendapatkan ilmu dan mengembangkan diri. Orang � orang yang berilmu memang selalu mendapat penghormatan yang lebih dari masyarakat. Akan tetapi, menuntut ilmu hanya untuk mendapatkan penghormatan masyarakat semata � mata, tentu tercela. Apalagi jalan untuk mendapatkan penghormatan itu merupakan jalan yang tidak sah. Dan lebih celaka lagi jika orang yang berusaha mendapatkan ijazah palsu itu bukan hanya untuk mendapatkan penghormatan orang lain tapi juga untuk mendapatkan uang.
Tapi apa mau dikata, jalan untuk mendapatkan ijazah palsu memang terbuka lebar � lebar. Jika Iwan Fals mendendangkan ijazah itu mirip lampu Kristal. Kini, ijazah bak gorengan. Gampang mendapatkannya dan tersedia di mana � mana. Seseorang tinggal mengeluarkan beberapa juta rupiah dan ijazah ada di tangan. Jika mau yang lebih �santun�, seseorang juga bisa �berpura � pura� kuliah � satu semester saja � dan ijazah didapat.
Maka, kita tidak perlu heran jika kemudian tersiar kabar bahwa dari sekitar 2.800 perguruan tinggi swasta, hanya sekitar 50 persen yang layak disebut sebagai Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi swasta hidup dari mahasiswa yang dimilikinya. Jika mereka hanya memiliki segelintir mahasiswa, bagaimana mereka bisa hidup? Karena permasalahan inilah kita mengenal istilah perguruan tinggi papan nama.
Sedikitnya mahasiswa akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran di Perguruan Tinggi swasta. Bagaimana seorang dosen akan mengajar dengan baik jika mereka tidak dihargai secara finansial? Kemudian, uang dari mana untuk menyediakan fasilitas pendukung perkuliahan? Lulusan dari perguruan tinggi semacam ini tentu tidak perlu kita pertanyakan lagi kualitasnya. Semuanya sudah jelas.
Perguruan Tinggi yang memang tidak layak sudah seharusnya ditutup. Mereka hanya akan menumbuh kembangkan budaya mengambil jalan pintas dan memberangus budaya belajar. Lihatlah, masih saja ada orang yang memilih perguruan tinggi swasta anu karena pasti cepat lulusnya. Mental seperti ini menular. Itu yang kita takutkan.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, guru di sini.

Monday, August 4, 2008

BERKATA DAN BERBUAT


Ada sebuah parodi yang menggelitik saya. Dalam sebuah kondisi, seorang professor, yang tentu saja dihormati karena pencapaian intelektual yang telah dimilikinya, memerintah sekelompok orang untuk melakukan sesuatu. Aneh, tak seorangpun yang menanggapi seruan sang professor. Kerumunan orang itu hanya menoleh kepada suara yang dihasilkan professor seperti menoleh kepada desiran angin. Tak seberapa lama, seorang awam yang tentu tak secerdas sang professor, menyerukan hal yang sama dengan yang diserukan oleh sang professor. Ajaib, semua orang bergegas memenuhi seruan itu.
Kalau kita pikir sekilas, seorang professor pasti memiliki pengaruh lebih dari seorang awam. Seorang professor memiliki ilmu yang luas. Jelas seorang awam tidak bisa dibandingkan keilmuannya dengan seorang professor. Tetapi, untuk menggerakkan orang lain, keilmuan semata tidaklah cukup. Seseorang harus memiliki karakter. Dalam parodi yang saya tulis ulang di atas, nampaknya sang professor tidak memiliki karakter yang cukup untuk mempengaruhi orang lain.
Seorang pendidik tidak hanya bertugas menyampaikan ilmu pengetahuan. Mereka juga berkewajiban untuk mempengaruhi anak didik agar berbuat benar. Untuk itu, seorang pendidik harus memiliki karakter yang kuat. Jika kita mencoba mempengaruhi orang lain sedang kita tidak mempunyai karakter yang kuat, kita hanya akan bernasib sebagaimana sang professor di atas.
Bagaimana agar kita memiliki karakter? Karakter adalah buah dari kebiasaan yang kita lakukan. Agar kita berkarakter, kita harus merubah kebiasaan � kebiasaan kita. Jika kita terbiasa santai, kita harus membiasakan diri untuk dikejar � kejar kewajiban menumpuk yang harus segera diselesaikan. Jika kita terbiasa menunda � nunda, kita harus mulai berpikir, �inilah saatnya�. Jika kita terbiasa berkutat dengan �dunia� kita, wilayah aman kita, kita harus membiasakan diri untuk keluar dari kungkungan dunia kita. Memperluas wilayah aman kita. Terus belajar hal � hal baru. Dan yang tak kalah penting, kita harus berani mengambil resiko dan bertanggung jawab atas apapun yang telah kita lakukan.
Kita harus mengganti kebiasaan � kebiasaan buruk kita dan menggantinya dengan yang terbaik. Berat memang. Tapi, kesulitan selalu berada di awal. Pada saatnya nanti, kita akan terbiasa juga. Pada saat terbiasa itulah, karakter kita terbentuk.
Banyak dari kita yang pandai berteori. Perkataan dan tulisan � tulisan kita memukau dan menjadi rujukan banyak orang. Namun, dalam tataran praktek, seringkali kita tidak sememukau perkataan dan tulisan kita. Sebagaimana sorang komentator pertandingan tinju di televisi yang kita yakin tidak memiliki ketrampilan bertinju di atas ring.
Sudah selayaknya apa yang kita katakan dan apa yang kita tuliskan juga menjadi apa yang kita lakukan. Ini penting. Seorang guru yang tetap tekun belajar, selalu memperbarui ilmunya, akan memiliki kesempatan lebih besar untuk dituruti perkataannya oleh para murid � muridnya. Seseorang yang hanya mengenal cangkul dari bahan bacaan, tentu berbeda dengan seseorang yang terbiasa menggerakkan tangannya untuk mencangkul ketika menjelaskan kepada orang lain mengenai alat pertanian ini.
Berkarakter atau tidakkah kita? Lihat dari bagaimana orang lain memperlakukan kita.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik bang imad di sini.

Sunday, August 3, 2008

PELAJARAN DARI BANG IMAD


Gajah mati meninggalkan gading. Setelah kepergian kita, orang yang masih hidup akan mengenangkan kita. Akan tetapi, apakah kita akan dikenang sebagai orang yang baik, ataukah orang akan mengenang kita sebagai orang yang berperangai buruk. Apakah kepergian kita disesali, ataukah kepergian kita akan disyukuri. Kenangan � kenangan itu, apakah yang baik atau yang buruk, akan sangat tergantung pada apa yang telah kita lakukan semasa hidup.
Imaddudin Abdurrahim (78), atau biasa dipanggil Bang Imad, berpulang kemarin, Sabtu (2/8) pukul 09.15 WIB. Semua orang, yang pernah mengenal beliau, mengenang beliau sebagai orang yang baik. Dan kita bersyukur bahwa banyak yang menyesalkan kepergiannya. Ini merupakan pertanda bahwa almarhum telah menjalani kehidupannya dengan baik. Bang Imad disebut � sebut sebagai pelopor dakwah kampus melalui masjid kampusnya. Kiprahnya di masjid Salman, ITB, menginspirasi masjid � masjid kampus lain untuk melakukan hal serupa. Semangat para aktivis masjid kampus sama; kecerdasan harus dibimbing keimanan. Hanya dengan begitu kecerdasan akan menghasilkan maslahat yang lebih luas.
Tetapi, semangat dan kepeloporan Bang Imad tidak akan dikenang orang tanpa satu hal. Itulah keikhlasan. Keikhlasan yang menjaga semangat. Setiap perjuangan pasti menuntut pengorbanan. Dan pengorbanan itu tidak mudah dilakukan. Akan tetapi keikhlasan membuatnya jadi mudah. Bang Imad tahu betul pentingnya keikhlasan dalam apapun yang kita kerjakan. Ini bisa dilihat dari pernyataannya yang terkenal; saya tidak membutuhkan 30 lebih aktivis, cukup dengan delapan orang yang serius, saya bisa bangkitkan aktivis Islam terbaik. Orang yang serius adalah orang yang ikhlas.
Seringkali kita berbuat sesuatu dengan mengharapkan imbalan. Kita menyumbang agar orang menganggap kita dermawan. Kita belajar agar orang menganggap kita sebagai intelektual. Pendek kata, kita berbuat sesuatu agar orang lain melihat dan kemudian memberikan penghormatan (respect) atas apa yang kita lakukan. Kemudian kita merasa bahwa kita telah berbuat banyak. Padahal, yang sebenarnya terjadi, kita tidak melakukan apapun. Kita tidak merubah apapun.
Maka, keikhlasan itu penting. Keikhlasan saat memberi adalah jika kita memberi dengan sembunyi � sembunyi. Kita mengharapkan harta yang kita keluarkan akan bermanfaat bagi yang menerimanya. Keikhlasan saat belajar adalah jika kita belajar untuk menyingkap kebodohan kita dan, suatu saat nanti, kebodohan orang lain. Jika kita ikhlas dalam belajar, kita tidak tinggi hati dengan ilmu yang kita miliki. Kita tidak merendahkan orang yang berilmu rendah.
Orang lain tahu apakah kita ikhlas atau tidak. Bahkan kalau kita menggunakan kata � kata manis untuk menutup � nutupi ketidakikhlasan kita, tetap saja orang lain akan mengetahui ketidakikhlasan itu. Seolah � olah setiap orang memiliki radar yang akan menangkap kebohongan.
Sebaliknya, keikhlasan akan memberi kekuatan pada apapun yang kita lakukan. Ketika seseorang sadar bahwa kita berbuat ikhlas, keikhlasan itu akan menggerakkan hati mereka untuk melakukan hal serupa. Tanpa harus kita suruh � suruh, orang yang sudah tergerak hatinya itu akan melakukannya.
Bang Imad telah mencontohkan keikhlasan kepada kita semua. Dan sampai kini, di tiap kampus, kita bisa melihat benih � benih yang terus tumbuh dari keikhlasan yang ditaburkannya. Jika saja Bang Imad, dulu, berbuat agar saat mati nanti bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, saya yakin, tidak akan ada perubahan berarti pada dakwah kampus.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik mak erot di sini.

Friday, August 1, 2008

BAHASA INDONESIA ASLI


Saat SD dulu, saya banyak menemukan kata � kata dalam bahasa Indonesia yang terdengar agak asing di telinga saya. Saya pun menanyakan perihal kata � kata itu ke guru bahasa Indonesia. Dari guru bahasa Indonesia itu, saya tahu bahwa kata itu bernama kata serapan. Kata yang berasal dari bahasa asing yang karena belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia maka kata itu disesuaikan dengan pelafalan bahasa Indonesia.
Persinggungan dengan bangsa � bangsa lain dari seluruh dunia memang tidak bisa dielakkan lagi saat ini. Persinggungan itu tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial budaya suatu bangsa akan tetapi juga akan berdampak pada bahasa suatu bangsa. Tak terkecuali bahasa Indonesia.
Saat Indonesia masih dijajah Belanda, banyak kosakata bahasa Belanda yang terserap ke bahasa Indonesia. Ambillah kata kos sebagai contohnya. Banyaknya warga Negara asing yang menetap di Indonesia untuk tujuan berdagang pun berpengaruh terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Arab dan bahasa China misalnya. Karena saking banyaknya kosakata asing yang telah menjadi bahasa Indonesia, mungkin kita tidak tahu bahwa kata yang kita ucapkan setiap hari itu merupakan kata jelmaan dari bahasa asing. Kursi, bukan kata asli bahasa Indonesia. Dia adalah serapan dari kosakata bahasa Arab, kursiyyun.
Semakin hari, ketika penetrasi budaya asing semakin gencar, tentu semakin banyak kata asing yang menjadi bahasa kita. Tapi bahasa Indonesia adalah produk budaya kita yang asli, yang harus kita banggakan dan kita jaga orisinalitasnya. Jika semakin hari semakin banyak kosakata asing yang masuk dalam bahasa kita, lambat laun keaslian bahasa kita akan terhapus.
Cuma, karena persinggungan antar bahasa tidak mungkin dapat dielakkan, menarik kita simak tulisan Akhmad Baihaqie di harian KOMPAS, 1 Agustus 2008 lalu. Dalam artikelnya Baihaqie yang lulusan Bahasa dan Sastra Arab, Universitas al-Azhar, menulis bahwa bahasa Arab pun menyerap kosa kata bahasa asing. Namun, para pakar bahasa Arab yang tergabung dalam Majma Lughah al-Arabiyah, tidak hanya menyerapnya semata � mata. Akan tetapi mereka mencari padanan kosa kata itu dalam kosakata bahasa Arab kuno, dan itu yang digunakan. Baihaqie mencontohkan kata telepon yang kemudian diarabkan menjadi hatif. Hatif berarti �wujud suara tanpa ada wujud rupa�. Selain itu, Baihaqie juga mencontohkan kata handphone yang dialihbahasakan jadi mahmul�(alat yang bisa dibawa ke mana saja), komputer jadi al-hisab (alat hitung), dan mobil jadi sayyarah (rombongan orang).
Ke depan, nampaknya pakar bahasa kita perlu untuk mencontoh apa yang dilakukan oleh pakar bahasa Arab dalam menyerap kosa kata asing itu. Dengan demikian keaslian bahasa Indonesia akan tetap terjaga. Selain itu, upaya ini bisa dijadikan cara agar kita, pemilik bahasa Indonesia, bangga dengan bahasa kita.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik bahasa di sini.

KULIT DAN ISI


Bagaimana anda tahu bahwa sebuah mangga sudah matang? Dari kulitnya tentu saja. Kulit yang masih hijau menandakan bahwa mangga itu masih mentah. Tapi jika kuning mengkilat, sudah matang. Banyak buah � buahan matang yang bisa kita ketahui dari kulitnya. Tapi tidak selamanya tampilan kulit menunjukkan isinya. Kedondong yang berkulit licin mengkilat ternyata berbuah masam dan isinya berduri. Tapi durian yang kulitnya berduri, malah berisi buah yang manis.
Begitulah. Ada kalanya kulit mencerminkan isi, dan ada kalanya juga kulit tidak mencerminkan isi. Kita pasti menginginkan kulit dan isi sesuai. Kulitnya bagus, begitupun isinya. Namun jika kita diminta memilih satu diantara dua, kulit bagus tapi isinya jelek atau kulitnya jelek tapi isinya bagus, kita harusnya memilih yang kedua. Betapapun baik yang Nampak dari sebuah kulit, dia tetap kulit yang berfungsi sebagai penutup dari isi. Isi adalah esensi. Sedang kulit, tidak berkelebihan kiranya jika kita nyatakan sebagai pemanis belaka.
Sayangnya, kita seringkali mementingkan kulit dari isi. Kita lebih mementingkan tampilan luar. Kita lebih mementingkan gebyar, pencitraan saja. Lalu kita meninggalkan yang esensial.
Sampai saat ini kita masih saja menemui orang yang bergonta � ganti telepon genggam. Setiap kali keluar seri terbaru, setiap kali pula dia mengganti teleponnya. Tertarik dengan fitur � fitur yang semakin lengkap, telepon yang lama ditinggalkan. Padahal jika dicermati, orang itu hanya memanfaatkan telepon sebatas untuk SMS dan jarang � jarang melakukan panggilan. Lalu untuk apa uang jutaan rupiah dihambur � hamburkan? Untuk tampilan luar. Untuk gengsi.
Di Koran kita tahu bahwa laptop kini semakin banyak dipakai, oleh berbagai kalangan. Anak � anak muda, ibu � ibu rumah tangga pun kemana � mana membawanya. Akan tetapi, untuk apa mereka memakai laptop itu? Rata � rata untuk berburu hotspot, untuk chatting. Di jogja, angkringan pun kini memberikan fasilitas hotspot untuk pelanggannya. Di sanalah para pemburu hotspot duduk dan menekuni hobi barunya. Betah duduk berjam � jam hanya untuk chatting padahal mereka hanya memesan segelas teh manis saja. Awalnya, laptop diciptakan untuk para pekerja yang terus bergerak (mobile). Laptop akan mempermudah penyelesaian pekerjaan tanpa harus terpaku di satu tempat. Laptop akan membuat waktu pekerja sibuk itu dengan lebih efisien. Lagi � lagi, kita yang sebenarnya belum membutuhkan laptop tapi membawanya kesana kemari, tergoda untuk mempercantik kulit. Dengan membawa laptop kemana � mana, kita merasa sudah menguasai teknologi. Tidak sadar bahwa sebenarnya baru sebatas pengguna (user).
Itulah yang terjadi pada rata � rata kita. Mengapa kita masih saja terus mementingkan tampilan? Karena kita malas untuk mengembangkan �isi� kita. Orang yang malas belajar akan sibuk memoles dirinya sebagai pembelajar. Orang yang tak paham teknologi, akan sibuk berbuat agar ia seolah pakar teknologi, orang yang �tidak penting�, kalang kabut menampak � nampakkan bahwa dia orang penting.
Kita tidak mampu mengambil pelajaran saat berita memberitahu kita bahwa Bill Gates menyopir sendiri sedan Altisnya, padahal beberapa kali dia dinobatkan sebagai orang terkaya di dunia. Kita tidak mampu mengambil pelajaran saat David Cameron, pemimpin Partai Konservatif Inggris, kehilangan sepeda onthelnya saat dia berbelanja. Melalui foto pun kita tahu bahwa calon presiden Amerika mengayuh sepedanya. Pemandangan seperti ini apakah pernah kita jumpai di negeri kita? Yang punya mobil, sibuk mencari sopir. Yang baru mampu mengayuh sepeda berhutang untuk memiliki motor. Terus begitu hingga menjadi budaya diantara kita. Kita berada di dalamnya, dan kita terlibat.
Seorang tetangga saya, seorang dokter, melanjutkan S 2 nya di Inggris. Ketika berangkat, dia membekali dirinya dengan VCD � VCD lagu � lagu kesayangan. Sesampai di Inggris, betapa terkejutnya dia saat menyaksikan bahwa umumnya orang Inggris masih memutar kaset video.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, di sini.

Tags

Recent Post